Tahun 1571 Spanyol menaklukan Philliphina, sampai kemudian Bataha mulai mengikuti pendidikan di Universitas Santo Tomas Manilla ( Intramuros ), letaknya di pulau Luzon. Ketika itu, Spanyol sudah memperluas kekuasaannya ke seluruh kepulauan Philliphina termasuk sebagian wilayah di utara Indonesia. Bataha mulai kuliah di Universitas St. Tomas pada tahun 1666 dalam usia empat puluh empat tahun.
Bataha menyelesaikan pendidikan tahun 1670. Selama masa pendidikan, Bataha sempat pulang dan mempersunting putri bangsawan Tahuna bernama Lekumbuwe. Dari perkawinan tersebut memperoleh anak bernama Dalepe.
Hari masih pagi, Bataha sudah bangun dari tempat tidur. Nampaknya sedang berkemas. Hari itu juga dia harus meninggalkan Manilla dan pulang ke Manganitu, karena masa belajarnya sudah selesai. Empat tahun bukanlah waktu yang pendek. Ditempat ini, tepatnya di Universitas Santo Thomas, banyak hal sudah ia pelajari. Letak Universitas St. Tomas tidak jauh dari Fort Santiago . Sampai menjelang keberangkatan, Bataha tidak lagi bertemu dengan temannya dari Siau, Franciscus Xaverius Batahi.
Sebagai seorang Khatolik, bataha tidak melupakan perlengkapan yang berhubungan dengan keagamaan seperti biblle,rosario dan buku – buku lainnya termasuk buku-buku pelajaran. Berat rasa meninggalkan teman-temannya. Tetapi bataha harus pulang. Dipintu kamar, sekali saja dia melakukan tanda salib.
Dengan banyak perlengkapan pergilah Bataha menuju pantai. Dipelabuhan sudah siap sebuah Konteng, perahu kerajaan yang dikirim ayahnya Datu Tompoliu (datu adalah sebutan untuk raja di kepulauan sangihe). Dari perahu menunggu seorang Bobato, seorang Kapiten laut, pengawal istana, alanga atau elang (hamba atau budak) yang bertugas sebagai pendayung. Ada juga seorang kakek tua yang memegang Tagonggong. Perahu ini cukup mewah untuk ukuran masa itu. Pada bagian Ujung haluan dan buritan terdapat pahatan berbentuk buah bitung. Dengan dipapah oleh para pengawal dia naik ke perahu. Belum juga duduk dia melakukan satu kali lagi tanda salib.
Sangat kental nilai-nilai Khatolik pada dirinya. Maklumlah, Bataha sudah di baptis sebagai khatolik dengan nama Don Jugov Sint Santiago waktu kecil di Istana Tatahikang. Bataha, dibesarkan dalam kalangan keluarga Khatolik di istana kerajaan yang dibangun kakeknya Liuntolosang, bersama ayahnya di Kauhis.
Terdengar komando,…..siap berangkat dari Kapiten Laut. Tak ada angin, tak ada ombak, memuluskan perjalanan pulang ke Manganitu. Dari Manila mereka melewati Ilo-ilo, jolo, cotabato, general santos, menyusur pulau-pulau di Philliphina sampai ke ujung pulau Mindanao selatan, pulau Balut dan seterusnya. Mulai Nampak Marore, sementara Miangas terlihat sangat kecil. Pelayaran mereka semakin dekat dan sudah kelihatan samar-samar pulau sangihe. Semakin dekat makin jelas pulau Nipa dan sekitarnya, pulau Beng darat. Saat ini haluan mengarah ke selatan melewati pulau Batunderang, pulau Bebalang, pulau Mahumu, tanjung Sahong, tanjung Lelapide, tanjung Bulude, akhirnya sampailah mereka di wilayah kerajaan Manganitu dibawah kekuasaan ayahnya Tompoliu. Sesudah melewati pelabuhan kerajaan yang terletak di semulawak, perahu diarahkan keantara dua pulau kecil di depan Tatahikang.
Disana sudah bersiaga prajurit kerajaan, para dayang, terutama isteri dan adik-adiknya, tampak Diamanti dan Sapela yang melambaikan tangan. Sang ayah berdiri di atas tanjung mengapit pedang barļa. Tompoliu, kelihatan sudah semakin tua. Tergambar kegembiraan di rautnya karna telah datang sang penerus kerajaan.
Perjalanan yang ditempuh berhari - hari lamanya. Hari ketika Bataha tiba tepat dihari Minggu. Tanpa lelah, diperintahkanya para pekerja perahu untuk mengantarnya ke Gereja. Letak Gereja dari Istana sekitar 5 km. Sesampai ditanjung Liang, Gereja yang dulunya megah, sekarang mulai rusak. Sejak tahun 1619, para pemeluk Khatolik adalah musuh bagi VOC , terutama warga Spanyol dan Portugis. Penduduk dipaksa untuk menganut agama Kristen Protestan. Semua yang berhubungan dengan kegiatan keagaman Khatolik dimusnahkan.
UPACARA MELAHUNDUITANG
Hari masih pagi buta, beberapa orang Minihu (tukang palakat) telah beranjak dari tempatnya ke semua desa di pusat kerajaan Manganitu, mulai dari Barangka sampai ke Kauhis. Mereka mengumumkan penyampaian dari Datuk Tompoliu bahwa akan ada pengangkatan raja baru untuk menggantikan kedudukannya.
Beberapa hari kemudian bataha dipanggil oleh ayahnya. Malam hari diruangan utama berkumpullah kerabat Istana. Terlihat beberapa allangga, elang kerajaan mempersiapkam ruangan membersihkan lantai yang akan diduduki. Beberapa tikar dari bahan pandan terbentang dilantai. Sekejap, satu-satu padamara mulai di pasang. Saat sebelum kegiatan dimulai terdengar musik mengalun yang di kumandangkan oleh sekelompok pemain musik Oli’ di teras depan istana. Sebuah Tagonggong kerajaan ditabuh berkali-kali, sesudah itu suasana menjadi hening.
Padamara di Istana kerajaan Manganitu.
Duduklah Tompoliu dan berkata ; Aku sudah sangat tua, saatnya kedudukan raja diganti oleh orang yang lebih muda. Dilihatnya Bataha, dan menoleh keisterinya Lawewe, tampak juga di samping kanan, saudara kandung Tompoliu bernama Lantemona. Ada percakapan kecil dengan Lantemona. Sang Boki kelihatan biasa-biasa saja, sambil mengunyah sirih.
Tompoliu kembali bercerita, diantaranya tentang silsilah Tolosang. Kakek kalian Liuntolosang mati dan dipancung kepalanya di Tahuna karena mempertahankan batas kerajaan yang dirampas Kerajaan Tahuna. Kini pasukan VOC mengambil hak kita.
Banyak hal telah mebebani kerajan Sejak orang tua saya berkuasa. Untuk itu saya menetapkan seorang pengganti, yaitu Bataha. Disamping sebagai seorang terpelajar, dia juga memikul tanggung jawab “ I akang ganting ghagurang “. Semua sepakat. Lantemona menyerahkan sebuah Baļa (pedang raja) dan bengko (tombak) pusaka yang digunakan membunuh Pulungtumbage dalam perang Tahuna - Manganitu. Ayahnya Tompoliu menyerahkan satu gulungan rokok peninggalan dari Lumanu (kulano Manganitu).
Setelah mengadakan persiapan, tibalah hari penobatan Raja baru. Penobatan raja baru diadakan melalui upacara Melahunduitang atau penobatan pengeran diatas pangeran. Bataha duduk bersila, kedudukanya berada di posisi terdepan menghadap Raja Tompoliu. Iring –iringan musik Oli’ berbunyi disertai suara seorang perempuan tua yang mĕ denden (berpantun).
Suara tagonggong berbunyi dilanjutkan dengan pengucapan sasalamate sebagai pesan dan nasehat kepada raja baru. Tidak tampak nuansa keagamaan khatolik di dalam acara. Karena sejak Spanyol dan Portugis tidak lagi berkuasa atas sangihe, misi khatolik telah ditinggalkan selama kurang lebih 100 tahun, sampai kemudian datang Misi Zending. Yang tampak hanyalah, ampuang, tatanging dan bihing yang sibuk membakar kemenyan. Mereka datang sebagai tamu.
Beberapa hari setelah pengangkatan Bataha menjadi Raja, meninggallah sang ayah “Tompoliu” . Kabut duka menyelimuti rumah raja Tompoliu di Tatahikang. Jenasah sang raja dimakamkan dibelakang Istana raja. Penghargaan terakhir, dibuatlah sebuah makam indah, yang dibuat dari susunan batu-batu dengan konstruksi berbentuk lonjong setinggi limapuluh sentimeter. Sebelum meninggallnya sang ayah, Santiago memperisteri Maiang sebagai isteri ke dua dan memperanakan seorang putera bernama Sinadia.
Makam : Raja Tompoliu di Tatahikang
TUMBAL PERSELISIHAN SPANYOL DAN VOC
Bataha menjadi raja atas Manganitu, pada tahun 1670. Hal pertama yang dilakukan adalah memindahkan pusat kerajaan ke Bowongtiwo Kauhis. Kedudukan Bowongtiwo berada di atas tanjung liang yang dulunya adalah pusat kerajaan pertama yang disebut Kerajaan Kauhis. Jarak dari Tatahikang ke Bowongtiwo diperkirakan 3 km. Pemindahan pusat kerajaan disebabkan dua alasan yaitu ; Mengenang masa kecil dan konsep strategi pertahanan perang. Bataha dibesarkan oleh kakeknya Liuntolosang yang juga adalah Raja pertama kerajaan Manganitu.
Tahun pertama pemerintahan Bataha dikerajaan Manganitu, mulai disusun strategi pertahanan kerajaan terhadap serangan musuh. Istana kerajaan di Bowongtiwo adalah tempat yang paling baik untuk memantau kedatangan musuh dari dua sisi. Bataha dapat memandang langsung dari depan istana. Dari Bowongtiwo dapat dipantau perahu-perahu yang masuk dari selatan di depan Tanjung Bulude dan dari utara di depan Maselihe.
Masa disaat pemerintahan Bataha, merupakan masa yan berat bagi Kerajaan-kerajaan utara dan Kesultanan – kesultanan di Kepulauan Maluku, termasuk Kesultanan di kepulauan Philliphina. Daerah ini merupakan jalur pelayaran ke utara Nusantara. Kondisi pelayaran ini dipenuhi dengan keinginan monopoli dagang antara Kerajaan Portugis, Kerajaan Spanyol dan Kerajaan Belanda. Pulau Sangihe merupakan pelintasan utama armada laut Spanyol dari Philliphina ke Kepulauan Maluku.
30 Maret 1667 diadakan perjanjian antara sultan Ternate, sultan Tidore yang menyerahkan wilayah kekuasaannya sebagai bagian dari VOC. Ketika itu sultanat ternate dan sultanat tidore telah mengklaim kekuasaan atas Jazirah Minahasa dan kepulauan Sangihe. 15 Mei 1671, Tuan-tuan XVII atau de heren zeventjen sebagai pelindung VOC di kerajaan Belanda menetapkan Siau sebagai bagian dari kekuasan VOC. Sejak saat itu daerah-daerah yang berpotensi rempah-rempah dikepulauan Sangihe mulai dikuasai VOC. Keberanian VOC merampas daerah yang sebelumnya dikuasai Spanyol karena didukung oleh kesultanan Tidore sebagai kakitangan VOC. Keinginan bangsa barat memonopoli perdagangan di utara Nusantara menjadikan beberapa kerajaan sebagai taruhan kemenangan. Kepulauan sangihe mempunyai kedudukan yang sama dengan kepulauan Maluku. Keadaan alam sangihe dipenuhi dengan tanaman Pala,kelapa, disamping itu ada juga tanaman cengkeh.
Semenjak Tompoliu memerintah dikerajaan Manganitu, sudah terjalin persahabatan yang erat antara Spanyol dan Kerajaan Manganitu. Untuk menjaga kerajaan Manganitu dari kemungkinan serangan VOC, spanyol telah menghadiahkan dua buah meriam besar. Persahabatan inilah yang memicu keinginan VOC untuk menaklukan Manganitu. Dalam masa pemerintahan Raja Bataha, kerajaan Manganitu mencoba mengambil hati raja-raja lain di pulau Sangihe menyatukan tujuan untuk berperang melawan VOC. Dikirimlah beberapa utusan dengan maksud mengadakan kesepakatan menjelang masuk dan berkuasanya VOC di kepulauan Sangihe. Bataha tahu persis misi bangsa barat datang ke Timur semenjak belajar di Manilla. Setibanya di Manganitu dia baru sadar bahwa neg’rinya sedang dijajah.
BERSIAP UNTUK BERPERANG
Suatu hari diawal tahun 1675 dalam istana kerajaan Manganitu, telah berkumpul pejabat-pejabat kerajaan. Bataha duduk di tempat duduk yang agak rendah sehingga kakinya dapat di lipat. Disekitar bataha sudah duduk bersila dilantai, para Bobato kerajaan Manganitu dan kapiten laut dan pejabat istana lainnya. Hadir juga adik-adik dari Bataha yaitu Diamanti, Sapela, Apueng, Gaghinggihe. Dibagian belakang terdapat hokolimampulo (Bangsawan) dan Bahaning beo’e (para pemberani). Bataha menyampaikan keadaan Nusantara, dengan penuh keyakinan dia mengatakan bahwa kita sedang di permainkan. Kita bukan sahabatnya Spanyol, kedatangan mereka hanya ingin mengambil apa yang kita tanam. Adapun VOC adalah warga yang datang dari daerah yang sama dengan Spanyol. Pasti keinginannya sama seperti yang telah dilakukan di Maluku. Kita jangan sama seperti Mandarsyah……….
Sesaat kemudian Bataha memerintahkan seorang prajurit dipintu masuk untuk mengambil krikil dipantai. Sang prajurit dengan seorang Allangga turun kepantai mengambil krikil secukupnya. Bataha mulai menunjukan melalui batu-batu kecil, meletakan pada posisinya di lantai yang terbuat dari papan. Apa yang ditunjukannya adalah posisi Spanyol di Manila dan jalur pelayaran ke Maluku. Bataha juga menunjukan kemungkinan masuknya Belanda dari arah Tamako. Hari mulai gelap datang seorang kerabat raja menjamu orang-orang didalam istana. Percakapan dihentikan sejenak karena telah ada Sagu bakar diatas piring porselin yang siap dimakan dan beberapa ekor ikan laut. Bataha lalu menjelaskan bermacam strategi yang diperlukan dalam rangka menghadapi VOC jika menyerang Kerajaan Manganitu seperti yang telah dilakukan di Kerajaan Siau. Banyak hal yang sudah dibicarakan termasuk kesiapan Perahu-perahu perang dan alat – alat perang. Kedudukan para bahaning beo’e dilokasi masing-masing. Pertemuan hari itu berakhir menjelang subuh.
Yang mendorong Bataha untuk bersiap perang adalah “Palakat Panjang” atau Lange Contract yang dikeluarkan VOC, sangat merugikan pihak kerajaan. Isi Plakat panjang antara lain. Musnahkan tanaman cengkeh, tidak boleh ada penganut agama Khatolik dan semua benda yang digunakan di gereja khatolik sebagai bentuk kekafiran. Semua wajib menganut agama Kristen Protestan. Beberapa benda yang ada di gereja khatolik kauhis ditanam didekat salah satu muara sungai di perkampungan kauhis. Sebelum kemudian gereja tersebut dihancurkan oleh VOC.
Sebagai seorang raja yang terpelajar, bataha menganggap perjanjian itu merugikan kerajaan dan rakyatnya. Bataha yang juga seorang khatolik merasa tersinggung dan terhina atas perintah untuk menghancurkan benda –benda yang berhubungan dengan gereja.
Setelah mendengar berita tersebut dia lalu meremas Rosario ditangannya, kelihatan mulutnya komat-kamit. Mungkin mengucapkan doa. Sejak mendengar berita tersebut semakin gencar dia menggalakan persiapan perang.
PEPERANGAN DIMULAI
Waktu perang datang juga. Sultan sibori anak sultan Mandarsyah dari Maluku diperalat oleh VOC datang ke Manganitu untuk mempertegas perjanjian yang telah dibuat sepihak. Bataha harus dihukum. Tapi hasilnya, Bataha tidak mau menandatangani surat perjanjian tersebut. Sultan sibori kembali ke Maluku untuk menyampaikan hal tersebut kepada pihak VOC. Sambil menunggu jawaban dari pihak VOC, Bataha mengadakan pertemuan dengan para pejabat kerajaan dan semua pihak yang terlibat dan melibatkan diri dalam peperangan. Dalam pertemuan itu dengan tegas Bataha berkata : “ I kite mendiahi wuntuang ‘u seke,nusa kumbahang katumpaeng” yang artinya, kita harus menyiapkan pasukan perang, negeri kita jangan dimasuki musuh.
VOC membuat siasat baru yaitu mempersunting Sibori atas putri raja Tabukan bernama Maimuna. Pernikahan tersebut dilakukan untuk mempermudah masuknya pasukan VOC dan sekutunya Sultan Sibori untuk tinggal lama di pulau Sangihe. Sejak saat itu di mulailah peperangan antara VOC dan sekutunya Sultan Sibori melawan pasukan Kerajaan Manganitu.
Armada VOC dikirim dari Maluku sampai ke pusat kerajaan Tabukan di Soa Tebe. Dari Tabukan mereka menyusur pantai sampai ke Tanjung Maselihe. Memasuki laut didekat tanjung Lesa para pengintai yang bersembunyi di Lembabua sudah meberikan pesan kepada pasukan dikerajaan Manganitu secara berantai. Bataha memantau dari depan Istana di atas tanjung liang. Dengan cekatan, Bataha dan para prajurit langsung turun ke Semulawak karena perahu perang ada dipantai tersebut. Bataha memimpin langsung peperangan dilaut sebagai panglima laut.
Strategi perang yang digunakan adalah : Bataha menggempur pasukan laut musuh mulai dari pantai Bahoi,dia sendiri yg menjadi panglima laut. Sedangkan Diamanti berada dipantai dengan pasukan darat. Jika mungkin pasukan laut dan pasukan di pantai melemah, maka Sapela sudah siap dengan pasukan gunung. Kalau sampai terdesak mereka akan berlindung di atas bukit yang jauh dari pantai seperti di daerah bentihe, peka dan berakhir di Longso (dekat batumbakara). Disana terdapat benteng kecil yang disusun dari batu-batu besar. Benteng tersebut bernama Batumbakara.
Berhari-hari lamanya mereka melakukan pertempuran, akan tetapi pasukan Bataha tidak dapat dikalahkan. Banyak korban jatuh dari kedua pihak. Melihat keadaan tersebut, oleh VOC perang dihentikan. VOC mencari siasat baru untuk mengalahkan Bataha. Dicarinyalah teman dekat Bataha untuk membujuk Santiago agar menyerah. Ditemukanlah dua sahabat Bataha. Mereka adalah Sasebohe dan Bawohanggima, masing-masing dari Tabukan dan dari Pensu’.
Lokasi tempat pelaksanaan Eksekusi Bataha Santiago, berdasarkan penggalian dari Bapak, Maker Madonsa (budayawan Sangihe)
Diketahui bahwa Santiago berada di bekas istana di Tatahikang. Mereka mencari bataha untuk berunding. Kedatangan mereka diketahui oleh Bataha. Bataha dan prajuritnya langsung berlari menyusur pantai sampai ke pantai kauhis. Dipantai kauhis bertemulah dua pihak tersebut. Sasebohe dan bowohanggima berusaha membujuk Bataha agar menyetujui perjanjian. Bataha tetap saja menolak, lalu terjadilah pertempuran antara kedua pasukan.
Agar supaya tidak jatuh korban yang lebih banyak, Bataha langsung menghindar dari tempat itu. Dengan langkah cepat dia beranjak dari pantai lalu menuju Istana yang jaraknya tidak jauh. Setibanya diistana, terlihat keluarga dan kerabat dekat sedang berkumpul. Rupanya mereka sedang mebicarakan keadaan bataha. Sinadia sang anak dipeluknya, lalu mendekatlah sang ibu. Ibunya menyampaikan beberapa kata yang mendorong semangat juang bataha. Jadikanlah dirimu sekuat namamu “Bataha” bataha berarti sakti. Dengan beberapa puluh orang pengawal dan prajurit, mereka melanjutkan perjalanan ke arah bukit. Sebentar saja mereka sudah tiba di bowoluhu, lalu ke peka diatas bahoi dan kemudian berakhir di Batumbakara.
Bataha masuk kedalam, naik keatas batu sambil menatap indahnya pantai sangihe. Nampak dua pulau kecil di depan Tatahikang yang disebut “pinebentengang”. Kearah lain dia menatap Sahendaļumang, gunung para leluhur. Belum lama mereka berada di Batumbakara, muncullah dua sahabatnya yang nanti berkianat, Bawohanggima langsung masuk. Sebagai sahabat, batahapun mempersilahkan masuk. Sebelumnya bataha sudah mendengar kabar, jika bataha tidak mau menyetujui perjanjian taruhannya adalah rakyat, keluarga dan kerabat yang ada dikerajaan Manganitu akan dihukum.
Tanpa banyak tanya, bataha langsung turun sampai ke pantai paghulu. Disaksikan oleh beberapa keluarganya, dia naik keperahu VOC menuju ke Tahuna bersama-sama dengan perahu yang di tumpangi Sultan Sibori. Tak satupun keluarga yang berani menyapa. Sebelum perahu didayung, bataha sempat meneriakan “Nusa Kumbahang Katumpaeng”, seperti yang sering diucapkan selama peperangan. Perahu berlabuh di pantai Bungalawang - Tahuna. Dia langsung dibawa ke kantor VOC di dekat tanjung tahuna.
Didalam kantor sudah menunggu perwakilan dari Gubernur Padtbrugge (kedudukan markas VOC tepat di kantor kodim sekarang). Diatas meja sudah disiapkan surat kontrak untuk perjanjian berupa “lange contract”. Dengan perantara Sultan Sibori disampaikan pesan Gubernur. Bataha tetap pada pendirian, tidak mau menandatangani surat perjanjian. Dengan alasan itu, maka bataha dijatuhi hukuman mati. Satu regu tembak dipersiapkan. Tembakan sudah dilakukan. Semua pengikut bataha menundukkan wajah, kecuali Diamanti. Apa yang terjadi, bataha masih tetap berdiri. Karena kesaktiannya, tubuh bataha tidak dapat di tembus peluru. Tim eksekutor merubah cara eksekusi, bataha diantar ke tanjung Tahuna dan digantung ditiang gantungan. Ditempat inilah bataha digantung pada seutas tali. Pada saat itu bataha menghembuskan nafas. Menjelang senja, mayat bataha diturunkan dari tiang gantungan. Sultan sibori yang tidak yakin akan kematian bataha, memerintahkan untuk memenggal kepala bataha dari badannya. Hal ini sering dilakukan sebelumnya kalau membunuh orang-orang yang memiliki kesaktian, dengan maksud untuk memastikan bahwa orang yang dibunuh, benar-benar sudah mati.
Menjelang subuh, sapellah adik Santiago, seorang diri datang mengambil mayat bataha. Karena tubuh bataha sangat besar maka sapelah tidak mampu mengankat seluruhnya. Diputuskannyalah utuk membawa kepala bataha ke istana di Bowongtiwo. Ketika berada di paghulu, hari mulai terang. Agar tidak diketahui oleh pihak VOC dan kakitangannya,maka sapela membelokan haluan perahunya ke salah satu pantai dan menguburkan kepala bataha di antara akar pepohonan besar. Nama tempat tersebut kemudian dikenal dengan nama “Nento”.
Bertahun-tahun kubur kepala bataha selalu dirahasiakan keberadaannya. Hanya orang-orang dekat kerajaan yang tahu dimana kubur kepala bataha. Sampai suatu hari tersibaklah rahasia itu dari mulut bapak Lepinus Musa sang penjaga makam. Diakhir tahun 1950 letak pasti kubur yang sebelumnya simpang siur akhirnya ditemukan. Sejak saat itu lengkaplah kenangan tentang Bataha Santiago. Sedangkan kubur badan bataha tidak pernah ditemukan. Inisiatif pencarian kubur kepala Santiago dilakukan oleh Christoporus Maneking, bapak Tiwa camat manganitu (keturunan Santiago dari isteri pertama) dan beberapa orang keturunan Santiago lainnya.
Makam dari Sapela (adik perempuan Santiago) pemimpin pasukan perang di lereng gunung. Menikah dengan Makahekung
Kehebatan dan kemahsyuran Santiago dalam berperang melawan penjajah, membuat nama Santiago diabadikan sebagai nama Komando Resort Militer Di Sulawesi Utara dengan nama Korem 131 Santiago.
Sumber : sangihepirua
Tidak ada komentar:
Posting Komentar