Saya dengan latar belakang Patung Bogani |
MERUJUK pada cerita sejarah, penduduk asli Bolaang Mongondow berasal dari keturunan Gumalangit dan Tendeduata serta Tumotoibokol dan Tumotoibokat, awalnya mereka tinggal di gunung Komasaan (Bintauna). Kemudian menyebar ke timur di tudu in Lombagin, Buntalo, Pondoli', Ginolantungan sampai ke pedalaman tuduin Passi, tudu in Lolayan, tudu in Sia', tudu in Bumbungon, Mahag, Siniow dan lain-lain. Peristiwa perpindahan ini terjadi sekitar abad 8 dan 9.
Nama Bolaang berasal dari kata "bolango" atau "balangon" yang berarti laut. Bolaang atau golaang dapat pula berarti menjadi terang atau terbuka dan tidak gelap, sedangkan Mongondow dari kata ‘momondow’ yang berarti berseru tanda kemenangan.
Desa Bolaang terletak di tepi pantai utara yang pada abad 17 sampai akhir abad 19 menjadi tempat kedudukan istana raja, sedangkan desa Mongondow terletak sekitar 2 km selatan Kotamobagu.
Daerah pedalaman sering disebut dengan ‘rata Mongondow’. Dengan bersatunya seluruh kelompok masyarakat yang tersebar, baik yang yang berdiam di pesisir pantai maupun yang berada di pedalaman Mongondow di bawah pemerintahan Raja Tadohe, maka daerah ini dinamakan Bolaang Mongondow.
Daerah pedalaman sering disebut dengan ‘rata Mongondow’. Dengan bersatunya seluruh kelompok masyarakat yang tersebar, baik yang yang berdiam di pesisir pantai maupun yang berada di pedalaman Mongondow di bawah pemerintahan Raja Tadohe, maka daerah ini dinamakan Bolaang Mongondow.
Setiap kelompok keluarga dari satu keturunan dipimpin oleh seorang Bogani (laki-laki atau perempuan) yang dipilih dari anggota kelompok dengan persyaratan : memiliki kemampuan fisik (kuat), berani, bijaksana, cerdas, serta mempunyai tanggung jawab terhadap kesejahteraan kelompok dan keselamatan dari gangguan musuh.
Mokodoludut adalah punu’ Molantud yang diangkat berdasarkan kesepakatan seluruh bogani. Mokodoludut tercatat sebagai raja (datu yang pertama). Sejak Tompunu’on pertama sampai ketujuh, keadaan masyarakat semakin maju dengan adanya pengaruh luar (bangsa asing). Perubahan total mulai terlihat sejak Tadohe menjadi Tompunu’on, akibat pengaruh pedagang Belanda dirubah istilah Tompunu’on menjadi Datu (Raja).
Tadohe dikenal seorang Datu yang cakap, sistem bercocok tanam diatur dengan mulai dikenalnya padi, jagung dan kelapa yang dibawa bangsa Spanyol pada masa pemerintahan Mokoagow (ayah Tadohe). Tadohe melakukan penggolongan dalam masyarakat, yaitu pemerintahan (Kinalang) dan rakyat (Paloko’). Paloko’ harus patuh dan menunjang tugas Kinalang, sedangkan Kinalang mengangkat tingkat penghidupan Paloko’ melalui pembangunan disegala bidang, sedangkan kepala desa dipilih oleh rakyat.
Tadohe berhasil mempersatukan seluruh rakyat yang hidup berkelompok dengan boganinya masing-masing, dan dibentuk sistem pemerintahan baru. Seluruh kelompok keluarga dari Bolaang, Mongondow (Passi dan Lolayan), Kotabunan, Dumoga, disatukan menjadi Bolaang Mongondow. Di masa ini mulai dikenal mata uang real, doit, sebagai alat perdagangan.
Pada zaman pemerintahan raja Corenelius Manoppo, raja ke-16 (1832), agama Islam masuk daerah Bolaang Mongondow melalui Gorontalo yang dibawa oleh Syarif Aloewi yang kawin dengan putri raja tahun 1866. Karena keluarga raja memeluk agama Islam, maka agama itu dianggap sebagai agama raja, sehingga sebagian besar penduduk memeluk agama Islam dan turut mempengaruhi perkembangan kebudayaan dalam beberapa segi kehidupan masyarakat. Sekitar tahun 1867 seluruh penduduk Bolaang Mongondow sudah menjadi satu dalam bahasa, adat dan kebiasaan yang sama (menurut N.P Wilken dan J.A.Schwarz).
Pada tanggal 1 Januari 1901, Belanda dibawa pimpinan Controleur Anton Cornelius Veenhuizen bersama pasukannya secara paksa bahkan kekerasan berusaha masuk Bolaang Mongondow melalui Minahasa, setelah usaha mereka melalui laut tidak berhasil dan
ini terjadi pada masa pemerintahan Raja Riedel Manuel Manoppo dengan
kedudukan istana raja di desa Bolaang. Raja Riedel Manuel Manoppo tidak mau menerima campur tangan pemerintahan oleh Belanda, maka Belanda melantik Datu Cornelis Manoppo menjadi raja dan mendirikan komalig (istana raja) di Kotobangon pada tahun 1901. Pada tahun 1904, dilakukan perhitungan penduduk Bolaang Mongondow dan berjumlah 41.417 jiwa.
Pada tahun 1906, melalui kerja sama dan kesepakatan dengan raja Bolaang Mongondow, W. Dunnebier mengusahakan pembukaan Sekolah Rakyat dengan tiga kelas yang dikelola oleh zending di beberapa desa; yakni : desa Nanasi, Nonapan, Mariri Lama, Kotobangon, Moyag, Pontodon, Pasi, Popo Mongondow, Otam, Motoboi Besar, Kopandakan, Poyowa Kecil dan Pobundayan dengan total murid sebanyak 1.605 orang, sedangkan pengajarnya didatangkan dari Minahasa.
Pada tahun 1937 dibuka di Kotamobagu sebuah sekolah Gubernemen, yaitu Vervolg School (sekolah sambungan) kelas 4 dan 5 yang menampung lepasan sekolah rakyat 3 tahun. Ibukota Bolaang Mongondow sebelumnya terletak disalah satu tempat di kaki gunung Sia’ dekat Popo Mongondow dengan nama Kotabaru. Karena tempat itu kurang strategis sebagai tempat kedudukan controleur, maka diusahakan pemindahan ke Kotamobagu dan peresmiannya diadakan pada bulan April 1911 oleh Controleur F. Junius yang bertugas tahun 1910-1915.
Pada tahun 1911 didirikan sebuah rumah sakit di ibukota yang baru Kotamobagu. Rakyat mulai mengenal pengobatan modern, namun ada juga yang masih mempertahankan dan melestarikan pengobatan tradisional melalui tumbuh-tumbuhan yang berkhasiat obat dan sampai sekarang dibudayakan secara konvensional.
Sejak semula, masyarakat Bolaang Mongondow mengenal tiga macam cara kehidupan bergotong royong yang masih terpelihara dan dilestarikan terus sampai sekarang ini, yaitu : Pogogutat (potolu adi’), Tonggolipu’, Posad (mokidulu). Tujuan kehidupan bergotong royong ini sama, namun cara pelaksanaaannya agak berbeda.
Penduduk pedalaman yang memerlukan garam atau hasil hutan, akan meninggalkan desanya masuk hutan mencari damar atau ke pesisir pantai memasak garam (modapug) dan mencari ikan.
Dalam mencari rezeki itu, sering mereka tinggal agak lama di pesisir, maka disamping masak garam mereka juga membuka kebun. Tanah yang mereka tempati itulah yang disebut Totabuan yang dapat diartikan sebagai tempat mencari nafkah.
Bila ada tamu yang bertandang pada masa kerajaan, biasanya disuguhi sirih pinang, tamu pria atau wanita terutama orang tua. Sirih pinang diletakkan dalam kabela' (dari kebiasaan ini diciptakan tari kabela sebagai tari penjemput tamu). Tamu terhormat terutama pejabat di jemput dengan upacara adat. Tarian Kabela sampai saat ini tetap lestari di bumi Totabuan.
Tarian yang ada di Bolaang Mongondow cukup beragam diantaranya tarian tradisional yang terdiri dari Tari Tayo, Tari Joke', Tari Mosau, Tari Rongko atau Tari Ragai, Tari Tuitan; juga tarian kreasi baru seperti Tari Kabela, Tari Kalibombang, Tari Pomamaan, Tari Monugal, Tari Mokoyut, Tari Kikoyog dan Tari Mokosambe.
Upacara monibi terakhir diadakan pada tahun 1939 di desa Kotobangon (tempat kedudukan istana raja) dan di desa Matali (tempat pemakaman raja dan keturunannya).
Transmigran ke Bolaang Mongondow pertama kali datang pada tahun 1963 dengan jumlah 1.549 jiwa (349 KK) & ditempatkan di Desa Werdhi Agung. Para transmigran berikutnya ditempatkan di desa Kembang Mertha (1964), Mopuya (1972/1975), Mopugad (1973/1975), Tumokang (1971/1972), Sangkub (1981/1982), Onggunai (1983/1984), Torosik (1983/1984) dan Pusian/Serasi (1992/1993). lengkap
Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, Bolaang Mongondow menjadi bagian wilayah Propinsi Sulawesi yang berpusat di Makassar, kemudian tahun 1953 berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 1953 Sulawesi Utara dijadikan sebagai daerah otonom tingkat I. Bolaang Mongondow dipisahkan menjadi daerah otonom tingkat II mulai tanggal 23 Maret 1954, sejak saat itu Bolaang mongondow resmi menjadi daerah otonom yang berhak mengatur rumah tangganya sendiri berdasarkan PP No.24 Tahun 1954. Atas dasar itulah, mengapa setiap tanggal 23 Maret seluruh rakyat Bolaang Mongondow selalu merayakannya sebagai HUT Kabupaten Bolaang Mongondow.
Seiring dengan Nuansa Reformasi dan Otonomi Daerah, telah dilakukan pemekaran wilayah dengan terbentuknya Kabupaten Bolaang Mongondow Utara melalui Undang-Undang RI No. 10 Tahun 2007 dan Kota Kotamobagu melalui Undang-Undang RI No. 4 Tahun 2007 sebagai hasil pemekaran dari Kabupaten Bolaang Mongondow.
Tujuan utama pembentukan Kab. Bolmong Utara dan Kota Kotamobagu adalah untuk memajukan daerah, membangun kesejahteraan rakyat, memudahkan pelayanan, dan memobilisasi pembangunan bagi terciptanya kesejahteraan serta kemakmuran rakyat totabuan.
ADAT ISTIADAT BOLAANG MOGONDOW
Masyarakat Bolaang Mongondow sebelum pemekaran terdiri dari 4 etnik yaitu :- Etnik Mongondow
- Etnik Kaidipang/Mokapok
- Etnik Bintauna
- Etnik Bolango
Keempat etnik ini memiliki adat dan kebiasaan sendiri-sendiri,
pemerintahan sendiri selama berabad-abad, dimana adat kebiasaan tersebut
secara turun-temurun dihormati dan dipatuhi. Dengan demikian keepat
etnik tersebut merupakan satuan masyarakat adat yang memiliki ciri dan
identitas sendiri sebelum kedatangan bangsa Eropa (Spanyol, Portugis dan
Belanda) yang menjajah negeri-negeri dan kerajaan-kerajaan di
Nusantara termasuk keempat etnik/kerajaan tersebut.
Ciri masyarakat adat tersebut masih sangat kental sampai saat ini dapat
dilihat dari berbagai upacara seperti tata cara perkawinan, upacara
kematian atau kedukaan, prosesi penjemputan tamu kehormatan, etiket
sopan santun, pemberian gelat adat kepada pejabat tinggi negara dan
sebagainya.
Sebelum masuknya agama Islam, masyarakat Bolaang Mongondow dan
raja-rajanya masih menganut Animisme dan raja-raja selanjutnya menganut
agama Kristen Katholik yang dibawa oleh bangsa Eropa (Spanyol dan
Portugis) yang menyebarkan agama tersebut sampai di kepulauan Philipina
terus menyebar ke selatan, tanah Minahasa, Bolaang Mongondow dan
Maluku. Oleh sebab itu raja-raja Bolaang Mongondow setelah kedatangan
bangsa Eropa umumnya dinamakan menurut agama Kristen Katholik seperti
Fransiscus Manoppo, Salomon Manoppo, Eugenius Manoppo, Christofel
Manoppo, Cornelius Manoppo dan lain sebagainya yang akan diuraikan lebih
lanjut.
Sebelum kedatangan bangsa Eropa, raja-raja Mongondow bergelar Punu’ (Tuang) dimana tercatat ada 6 (enam) raja bergelar Punu’ mulai dari tahun 1400 – 1650 sebagai berikut:
- Punu’ Mokodoludut 1400 – 1460
- Punu’ Yayubangkai 1460 – 1480
- Punu’ Damopolii 1480 – 1510
- Punu’ Busisi 1510 – 1540
- Punu’ Mokodompit 1560 – 1600
- Punu’ Tadohe 1600 – 1650
Punu’ Damopolii beristerikan Putri Minahasa bernama
Ganting-ganting adalah seorang Putri dari keluarga Tiwow di Buyungon
dengan membayar Yoko’/Tali’ berupa tanah dari sungai Ranoyapo, Lewet sampai dengan muara sungai Poigar seluas 720 Km2. Pembayaran Yoko’ tersebut diketahui oleh Walak Minahasa yang mengetahui persis bahwa Yoko’
tersebut harus menuruti adat Bolaang Mongondow. Selanjutnya di zaman
Punu’ Mokodoludut dibuatlah kesepakatan para Bogani di tanah Mongondow
bahwa:
- Mokodoludut dan keturunannya dari generasi-kegenerasi harus menjadi Raja
- Barangsiapa yang menentang Raja akan dikenai kutukan:
- Butungon (kena kutukan)
- Rumondi na’ Buing (menjadi hitam seperti arang)
- Dumarag na’ Kolawag (menjadi kuning seperti kunyit)
- Yumiow na’ Simuton (larut seperti garam)
- Kimbuton in Tolog (ditelan arus air)
- Doroton in Motonyanoy (ditindas oleh Dewata)
- Raja bergelar Punu’ atau Tuang dan anak-anaknya diberikan gelar bangsawan Abo’ untuk laki-laki dan Boki’ atau Bua’ untuk perempuan.
Ketentuan ini berlaku terus-menerus dan sangat dipatuhi oleh
masyarakat Mongondow sampai adanya perubahan oleh Punu’ ke-enam (Punu’
Tadohe) yang membagi masyarakat Bolaang Mongondow atas enam strata,
yaitu”
1) Mododatu2) Kohongian
3) Simpal
4) Nonow
5) Tahig
6) Yobuat
Ditegaskan pula bahwa apabila rakyat memanen padi jagung harus menyerahkan beberapa gantang kepada Raja, tanaman pisang yang pertama berbuah harus diserahkan kepada raja, apabila seseorang rakyat yang kaya meninggal dunia maka sepertiga dari kekayaannya sebelum dibagi kepada keluarga pewaris diserahkan kepada raja. Apabila raja mangkat atau permaisuri, maka seluruh rakyat diwajibkan memakai pakaian hitam, tidak boleh memasang lampu pada malam hari sebelum jam 8 malam dan lain-lain keistimewaan.
II. Sejarah Raja-Raja
Adapun raja-raja Bolaang Mongondow yang bergelar Raja setelah berakhirnya gelar Punu’ adalah :
- Raja Loloda Mokoagow atau Datu Binangkang 1653 – 1694
- Raja Yakobus Manoppo, putra Loloda Mokoagow hasil perkawinan dengan putri Minahasa yang kemudian menjadi Raja Mongondow pada tahun 1694 – 1695.
- Raja Fransiscus Manoppo 1695 – 1731
- Raja Salomon 1735 – 1748, Raja ini melindungi orang-orang Minahasa yang lari ke Bolaang Mongondow akibat penindasan seorang Hukum Besar di Minahasa dan menetap di Bolaang dan Mariri. Oleh Residen Manado, penduduk tersebut diminta dipulangkan ke Minahasa tetapi ditolak oleh Raja Salomon. Disamping itu Raja Salomon bertengkar soal perbatasan dengan Raja Kaidipang yang menyebabkan Raja tersebut dipenjarakan oleh Belanda di Ternate kemudian pindah ke Batavia selanjutnya dibuang ke Afrika Selatan (Tanjung Harapan) selama ± 8 tahun. Sepeninggalnya Raja Salomon karena dibuang ke Afrika Selatan maka di Bolaang Mongondow timbul kerusuhan bahkan pembunuhan-pembunuhan politik oleh beberapa keluarga raja yang ingin menjadi raja tetapi mendapat perlawanan yang kuat dari Jogugu Yambat Simon Damopolii yang didukung rakyat mendesak kepada pemerintah Belanda untuk mengembalikan Salomon Manoppo ke Bolaang. Permintaan tersebut dipenuhi dengan janji bahwa bila Salomon hidup. Raja Salomon tiba di Bolaang pada 15 Maret 1756 dan diangkat kembali menjadi raja pada tanggal 10 Agustus 1764.
- Raja Egenius Manoppo 1764 – 1770 (Raja ini akhirnya menjadi gila dan digantikan oleh raja ke-enam)
- Raja Christofel Manoppo 1767 – 1770
- Raja Markus Manoppo 1770 – 1773
- Raja Manuel manoppo 1779
- Raja Cornelius Manoppo 1825 – 1829
- Raja Ismail Cornelis Manoppo 1825 – 1829
- Raja Yakobus Manuel Manoppo 1833 – 1858 (Raja ini masuk agama Islam)
- Raja Adreanus Cornelis Manoppo 1858 – 1862
- Raja Yohanes Manuel Manoppo 1862 (Penggantinya tidak ada selama beberapa tahun hingga diangkat Raja Abraham Sugeha 1886 – 1893)
- Raja Ridel Manuel Manoppo 1893 – 1905
- Raja Datu Cornelius Manoppo 1905 – 1928
- Raja Laurens Cornelius Manoppo 28 Juni 1928
- Raja Henny Yusuf Cornelius Manoppo 4 September 1947 – Juni 1950
Raja Laurens Cornelius Manoppo di non-aktifkan dan untuk menjalankan pemerintahan diangkat Van Bieren dibantu oleh dua orang pengawas yaitu H.D. Manoppo dan Mokodompit.
III. Asal-Usul Orang Mongondow
Orang Mongondow menurut Wilken dan Y.A.T. Schwars (1867) terdiri dari 5 (lima) suku/Sub etnis, yaitu:
- Intau Polian, diperkirakan bermukim di daerah Lolayan (Intau in Tudu Polian)
- Intau Buluan, diperkirakan bermukim disekitar Kelurahan Mongondow sekarang ini dan sekitarnya, mengambil nama seorang Bogani Bulu Mondow (Ismail Tolat, 1975).
- Intau Lombagin, disekitar Inobonto/muara sungai Ongkag Mongondow sekarang ini dan sekitarnya.
- Intau Binangunan, bermukim disekitar lereng gunung Ambang.
- Intau Dumoga, sekitar gunung Bumbungon.
Sampai sekarang ini beberapa bagian Adat Bolaang Mongondow masih
dipatuhi dan dihormati masyarakat. Antara lain, ketika mengadakan pesta
pernikahan, upacara kematian (Tonggoluan) dan tata cara
berpakaian, upacara menjemput pengantin wanita oleh keluarga pengantin
pria, penjemputan tamu kehormatan dan pemberian gelar kehormatan.
Upacara adat pernikahan yang dilakukan di desa-desa Bolaang Mongondow pada intinya tetap sama meskipun terdapat perbedaan-perbedaan dalam pelaksanaannya, dimana banyak bagian-bagian yang tidak berlaku lagi.
Upacara perkawinan/pernikahan adat tersebut dalam bentuk tertulis, telah ditulis oleh W. Dunnebier seorang misionaris (Zendeling) asal Belanda yang menelliti daerah ini ± 25 tahun (1905 – 1939) dengan judul asli “Verlopen en Trouwen in Bolaang Mongondow” tahun 1935. Upacara perkawinan ini diterjemahkan oleh B. Ginupit dalam Bahasa Indonesia “Pertunangan dan Perkawinan” yang menceritakan perkawinan seorang pemuda bernama Singkuton anak dari Moonik dan istrinya Angkina dengan seorang perempuan bernama Dayag anak dari Abadi dan istrinya Ibud.
Ringkasnya prosesi perkawinan tersebut adalah sebagai berikut:
Upacara adat pernikahan yang dilakukan di desa-desa Bolaang Mongondow pada intinya tetap sama meskipun terdapat perbedaan-perbedaan dalam pelaksanaannya, dimana banyak bagian-bagian yang tidak berlaku lagi.
Upacara perkawinan/pernikahan adat tersebut dalam bentuk tertulis, telah ditulis oleh W. Dunnebier seorang misionaris (Zendeling) asal Belanda yang menelliti daerah ini ± 25 tahun (1905 – 1939) dengan judul asli “Verlopen en Trouwen in Bolaang Mongondow” tahun 1935. Upacara perkawinan ini diterjemahkan oleh B. Ginupit dalam Bahasa Indonesia “Pertunangan dan Perkawinan” yang menceritakan perkawinan seorang pemuda bernama Singkuton anak dari Moonik dan istrinya Angkina dengan seorang perempuan bernama Dayag anak dari Abadi dan istrinya Ibud.
Ringkasnya prosesi perkawinan tersebut adalah sebagai berikut:
- Meminang, (melamar) – moguman don mobuloi
- Bila pertunangan diterima, dilanjutkan oleh tokoh-tokoh adat (guhanga) meminta imbalan (yoko’). Pada jaman dahulu yoko’ tersebut bisa berupa barang seperti sebidang tanah berisi tanaman kelapa, (lontad in bango’), rumpun rumbia, ternak terdiri dari sapi, kuda, maupun barang-barang berharga lainnya dan uang.
- Guat, berupa pemberian pihak keluarga calon pengantin pria untuk memisahkan (guat) calon pengantin wanita dari ibu dan bapaknya.
- Uku’ ukud, pemberian bantuan biaya dalam bentuk uang sesuai kesepakatan antar keluarga.
- Taba’ adalah utusan pihak keluarga wanita kepada keluarga pihak pria bahwa seorang pemuda bernama “A” telah meminang seorang wanita dari keluarga bernama “B”.
- Mahar, pemberian yang diminta oleh calon pengantin wanita kepada calon pengantin pria (hal ini menurut syariat Islam dalam bentuk cincin atau apapun yang diminta oleh pengantin wanita).
- Upacara Pernikahan, pembacaan Ijab Qabul oleh orang tua pihak wanita (semacam penyerahan tanggungjawab memelihara/menjaga pengantin wanita dengan membayar sejumlah uang tunai (Akad Nikah)
- Gama’, menjemput pengantin wanita oleh keluarga pengantin pria yang terdiri dari 13 (tigabelas) tahapan sebagai berikut:
2) Lampangan kon tutugan in lanag – melangkah ke tirisan atap.
3) Lolanan kon tubig – menyeberang sungai.
(ketiga tahap pertama ini dilakukan di rumah pengantin wanita).
4) Poponikan kon tukad – menaiki tangga rumah
5) Lampangan kon tonom – melangkah ke pintu rumah
6) Puat in kaludu’ – membuka kerudung
7) Pilat ini siripu – melepaskan sepatu
8) Pilat in paung – menutup payung
9) Pinogapangan – pendampingan
10) Pinomama’an – makan sirih pinang
11) Pinonduya’an – meludah (setelah makan sirih)
12) Pinogiobawan/pinolimumugan – makan dan berkumur
13) Pinobuian – pulang/kembali kerumah pengantin wanita
V. Upacara Adat Kematian
Bila seorang anggota keluarga meninggal dunia, maka diadakan upacara adat kematian sebagai berikut:
- Pemberitahuan kepada khalayak/masyarakat bahwa ada anggota keluarga/warga kampung yang meninggal dunia dengan memukul gong (golantung) ke seluruh kampung. Di rumah orang yang meninggal dipasang Arkus berupa hiasan dari daun enau muda yang dipasang pada lengkungan sebatang bambu dibelah empat dan dibentuk kerucut masing-masing belahan ditempatkan pada empat sisi yang dipasangi tiang bambu (matubo).
- Bila yang meninggal itu suami maka anggota keluarga pihak suami datang dengan barang-barang hantaran boleh juga berupa uang ditaruh di atas piring antik, bersama sisir, bedak, cermin, dipimpin oleh seorang guhanga. Sedangkan istri/janda dari suami yang meninggal duduk disamping persemayaman jenazah (tonggoluan) dan dengan bahasa Mongondow (halus) guhanga mengatakan: “wahai ibu/saudari kali ini anda telah putus hubungan dengan suami bukan karena cerai tetapi atas kehendak Ilahi (bontowon) tetapi masih ada hubungan tanda mata berupa anak-anak dan cucu”. Sesudah itu diserahkan piring antik untuk menampung air mata.
Langkah berikut diserahkan bungkusan berupa uang dan istri/jandanya diajak berjalan ke arah jendela dan guhanga
tersebut berkata lagi: “wahai ibu/saudari lihatlah betapa luasnya alam
raya di luar sana, mulai saat ini tidak ada lagi halangan bagimu untuk
melakukan kegiatan selanjutnya”.
Bagi orang Mongondow yang beragama Islam biasanya setelah pemakaman
diadakan pengajian selama 3 (tiga) hari, 7 (tujuh) hari dan sesudah itu
tonggoluan tempat persemayaman jenazah) dibongkar dan diberi sejenis Itu-itum, monginsingog
yang dilakukan oleh seorang Iman sambil membakar kemenyan berkata:
“wahai Almarhum, sekalipun engkau telah dimakamkan, kami tetap
mengenangmu, namun kita sudah berbeda alam/alam nyata dan alam arwah,
Anda pasti melihat kami karena penglihatanmu sangat terang sekarang,
tetapi demi kehidupan kami selanjutnya maka janganlah bersedih hati
tempat tidurmu kami akan benahi/bongkar karena Anda telah berpindah ke
alam gaib, sedangkan kami masih melakukan tugas kehidupan nyata di
dunia dan seterusnya”.
Selesai upacara itu yang biasa dilakukan adalah Hataman Qur’an, maka
upacara selesai dan para undangan/pelayat pulang ke rumah masing-masing.
VI. Upacara Adat Penjemputan Tamu dan Pemberian Gelar Kehormatan
Apabila ada seorang pembesar negeri berkenan mengunjungi suatu tempat
atau desa/kota, maka seluruh kota/desa dipersiapkan sedemikian rupa
kebersihan/kerapihan dengan memasang umbul-umbul, arkus disetiap rumah dan matubo di tempat penjemputan.
Ketika saat tamu pembesar negeri itu tiba, diadakan jemputan berupa Tari Perang/Mosau oleh
sekelompok penari/penjemput yang bersenjatakan tombak dan perisai yang
dikomandani oleh seorang komandan diiringi dengan bunyi tetabuhan
(tambur). Pada tempat yang sudah ditentukan, seorang guhanga dan pemangku adat mengucapkan Itu-itum
sejenis ucapan selamat datang dan doa.
Setelah itu tamu pembesar
negeri tersebut dipersilahkan masuk ke dalam rumah dan duduk di tempat
yang sudah ditentukan. Bila pembesar negeri itu seorang Kepala Negara,
maka akan diberi gelar yang tinggi “Ki Tule Molantud”, “Ki Sinungkudan”, Tonawat dan diberi hadiah berupa Pedang Mongondow yang berlapis emas pada hulu pedang dan sarung pedang (guma’) terbuat dari kayu hitam/ebony yang memakai ikat (tombasi)
berupa emas.
Biasanya pemberian tersebut diletakkan dalam kotak kaca
yang telah disediakan dan untuk “penawar” agar pedang itu tidak
membahayakan pemakai kelak, maka Sang Pembesar Negeri harus memberi
sekeping uang logam bernilai seratus atau sekarang lima ratus Rupiah
kepada pemberi hadiah. Upacara kemudian dilanjutkan dengan penjemputan
resmi seremonial.
Selama ± 650 tahun Suku Mongondow telah berkali-kali menerapkan ketentuan adat sebagai berikut:
14. Zaman Pemerintah Mokodoludut, Bogani-bogani Mongondow menyepakati ketentuan bahwa Punu’ Mokodoludut (Tuang in Bolaang Mongondow) diakui sebagai Punu’ (Raja) dan keturunannya dari generasi ke generasi memiliki hak menjadi raja.
Disepakati pula bahwa barang siapa yang melawan/melanggar perintah Raja, akan mendapatkan kutukan (laknat) sebagai berikut:
14. Zaman Pemerintah Mokodoludut, Bogani-bogani Mongondow menyepakati ketentuan bahwa Punu’ Mokodoludut (Tuang in Bolaang Mongondow) diakui sebagai Punu’ (Raja) dan keturunannya dari generasi ke generasi memiliki hak menjadi raja.
Disepakati pula bahwa barang siapa yang melawan/melanggar perintah Raja, akan mendapatkan kutukan (laknat) sebagai berikut:
- Butungon (dilaknat/kualat)
- Rumondi na’ Buing (menghitam bagai arang)
- Dumarag na’ Kolawag (menguning bagai kunyit)
- Tumonop na’ Lanag (meresap bagai air tirisan)
- Kimbuton in Tolog (ditelan arus)
- Doroton in Motonyanoi (ditindas oleh Dewata)
1) Mododatu
2) Kohongian
3) Simpal
4) Nonow
5) Tahig
6) Yobuat
16. Zaman Raja Yakobus Manuel Manoppo ada kesepakatan di Bolaang
Mongondow pada bulan September 1849 dimana diatur status anak/keturunan
dari perkawinan campuran antara bangsawan dan non-bangsawan, aturan
tentang tata cara bepakaian serta hukuman bagi pelanggar pidana seperti
membunuh, mencuri, berzina, dan lain-lain, keseluruhan
aturan/kesepakatan itu berjumlah 67 pasal.a
17. Zaman sekarang ini, sebagian besar hukum adat Bolaang Mongondow telah ditinggalkan orang dan yang tersisa serta masih berlaku adalah adat perkawinan, upacara adat kematian dan penjemputan adat serta pemberian/ penghargaan/penobatan gelar adat bagi pejabat tinggi negara.
17. Zaman sekarang ini, sebagian besar hukum adat Bolaang Mongondow telah ditinggalkan orang dan yang tersisa serta masih berlaku adalah adat perkawinan, upacara adat kematian dan penjemputan adat serta pemberian/ penghargaan/penobatan gelar adat bagi pejabat tinggi negara.
Sumber: Angga Syahputra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar