Sebelum kedatangan bangsa Portugis di Minahasa tahun 1512, sarang burung
pisok (walet) di pulau-pulau pantai Minahasa telah jadi barang dagang
pelaut Cina yang ditukarkan dengan barang porselen.
Karena beras dan sarang burung Pisok
menjadi barang dagangan utama Minahasa maka padi dan burung pisok sering muncul pada syair lagu-lagu maengket .
Catatan tertulis pertama mengenai produksi
sarang burung Pisok Minahasa dibuat gubernur VOC - Belanda Padtbrugge
ketika datang membuat kontrak kerja sama dengan Minhasa tahun 1679
sebagai berikut ;
"....... vogelnestjes vallen omtrent Manadoschen hoeck,
Lembeh, Datahans en endere eilanden made er jaarlijks thien picols
gepluckt werden."
Terjemahan bebasnya adalah bahwa
sarang burung di Minahasa terdapat di pulau Lembe, pulau
dekat Ratahan, tanjung Torawitan menghasilkan sepuluh pikul [ 625 kg ]
setahun .
Ketika Tololiu Supit menjadi Kepala
Walak, karena istrinya keturunan Dotulong, dia menuntut pembahagian
keuntungan penjualan sarang burung pulau Lembeh .
Terjadilah sengketa antara dinasti Supit Tomohon Tombulu
dengan dinasti Dotulong Kema Tonsea. Sengketa
itu tercermin pada isi surat gubernur VOC - Belanda di
Ternate tanggal 11 Mei tahun 1750 kepada Xaverius Dotulong kepala walak
Kema-Tonsea, antara lain sebagai berikut ; "....... dikabarkan bagi
sahabat bertanya djikalau bagaimana Kema dengan orang Tomohon akan
berdamai atau tidak, agar Kema dengan Tomohon badame dengan
segera-segera supaya kami Companija akan suka-suka mendengar. Hukum Kema
sudah bersuka menerima kain dari Companija buat baik pada negeri sabla,
tapi beta dengar katanya kain tiada sampe [ diberikan pada orang
Tomohon ]. Jikalau dapat orang Bantik datang di Batu puti boleh tangkap
dan ikat bawa pada Commandant di Manado, karena barangkali dia orang mau
mencuri sarang burung. Lagi jikalau sudah ada sarang burung biar Hukum
Kema antar kamari [ ke- Ternate ] dalam ini bulan. Tertanda Gubernur
Ternate G.R. De Cock."
Antara tahun 1765 - 1785, harga sarang burung
pisok naik satu pond dua ringgit hingga terjadi perebutan pulau Lembe
diantara keluarga dinasti Tonsea.
Xaverius Dotulong mengirim surat kepada gubernur Belanda
di Maluku Hermanus Munnik untuk mensahkan bahwa pulau Lembe bukan
"Kalakeran" tapi miliknya sendiri berdasarkan warisan, surat tanggal 3
Februari 1770 antara lain berbunyi ; "....... Beta dengan senang hati
menyatakan jang bahuwa pulai lembe sudah dari dulu beta empunya dotu
sudah empunya, tete Wenas Lumanau serahkan serakan sama beta punya bapak
Runtukahu yang sudah bawah kiriman sarang burung kepada kompeni. Maka
bapa beta telah menduduki pulou lembe sampai mati, dan sakarang beta
menduduki pulau lembe hingga pada anak-anaku. Tjuma itulah permintaan
kepada paduka tuan yang mulia kiranya permintaan beta disetujui."
Permintaan Xaverius Dotulong untuk memiliki
pulau lembe sebagai hak waris disetujui Gubernur Belanda Hermanus Munnik
dengan suratnya tanggal 17 April 1770 sebagai berikut ; "........ oleh
karena ukung kema Xaverius Dotulong telah menyatakan kepada kami bahwa
pulau lembe milik mereka sejak dahulu. Maka dengan demikian kepada ukung
Kema Dotulong dan temurunnya mengijinkan hak buat sendiri mengambil
hasil-hasil dipulau lembe mengesahkan pemilikan pulau itu kepadanya pada
kesempatan pengambilan sarang burung dengan izin yang terartur dari
dari pemerintah Hindia Belanda."
Tetapi karena pulau Lembe milik Pakasaan Tonsea
maka anak-anak bekas dari kepala walak yang karena perkawinannya sudah
menjadi penduduk Manado, Bantik, Ares, Negeri Baru - tidak menyetujui
pengakuan gubernur Hermanus Munnik tersebut .
Tahun 1776 terjadi serangan bajak laut dari
Mangindanau Philipina Selatan di Kema yang juga tertarik sarang burung
yang ada di pulau Lembe, anak-anak Xaverius Dotulong yakni Watok, Supit
dan Rumondor berhasil mempertahankan Kema. Sehingga residen Belanda
Wendholt datang di Benteng Manado tahun 1779 menyerahkan surat kepada
Hukum Kema Xaverius Dotulong untuk memiliki sendiri pulau Lembe dan
melarang orang lain mengambil sarang burung di pulau itu .
Dan untuk keluarga-keluarga Tonsea di walak Manado, Ares,
Negeri Baru, Kalabat Atas, Kalabat Bawah, mendapat hadiah kain
"Salempuris" warna coklat biru tua dari Belanda .
Tapi antara tahun 1896 - 1908 sengketa pulau
Lembe muncul lagi yakni dari cucu-cucu Xaverius Dotulong yang
menggunakan jabatan mereka minta hak atas produksi pulau Lembe, antara
lain J.A. Worotikan - Hukum Kedua Manado, F.H. Dotulong - Majoor Sonder,
A.L. Waworuntu - ex Majoor Sonder, J.A. Lasut - Majoor Ares Manado,
Herman Wenas - Majoor Tomohon .
Hanya Karena harga sarang burung merosot di periode
setelah tahun 1900-an, maka sengketa pulau Lembe itu berakhir dan
dilupakan.
Sengketa sarang burung Pisok [ walet ] di pulau
Lembe satu dua abad lampau di Minahasa menunjukkan antara lain penyebab
perang antar walak Minahasa dimasa lampau.
Dimana dinasti-dinasti Minahasa yang berasal dari satu
Dotu tapi bertempat tinggal di distrik [ Walak ] yang berbeda,
menggunakan jabatan pemerintahan dan jabatan kepala adat.
Karena seorang Ukung Hukum Besar, Hukum Kedua, Hukum Tua -
otomatis menjadi kepala taranak [ ethnik ] dan kepala adat,
memungkinkan seorang Kepala Walak Sonder Tontemboan menuntut hak waris
kepada Kepala Walak Tonsea atas tanah warisan di Tonsea dengan latar
belakang ekonomi .
Sumber: Mamahit
Tidak ada komentar:
Posting Komentar