Ilustrasi |
SILSILAH dalam masyarakat Minahasa sudah dikenal dari jaman dahulu kala, jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa.
Para Walian [Pimpinan agama adat suku] selain ahli
membaca tanda-tanda alam dan benda langit, menghitung posisi bulan,
matahari dan mengamati bintang-bintang tertentu untuk menentukan musim
menanam mereka juga dapat menghafal silsilah sampai puluhan generasi
dan menghafal cerita-cerita dari leluhur-leluhur yang ada.
Sesuai adat istiadat
dari zaman Malesung, silsilah ini akan dituturkan pada saat ada
perkabungan, para Tua-tua adat atau Paendon Tua [Tua-tua dalam
keluarga] akan menuturkan silsilah dari orang yang meninggal sebelum
dimakamkan.
Juga adat dan kebiasaan dari zaman Malesung, para orang
tua memberi nama pada turunannya atau anak-anaknya dengan berbagai arti
antara lain : nama Dewa, Bintang, Gunung, hasil Nujuman [Penglihatan
atau Mimpi], Kejadian Alam maupun Musim, nama kayu/pohon, juga kata
majemuk yang memakai sisipan atau imbuhan yang mengartikan suatu hal
atau suatu kejadian.
Masyarakat Minahasa
tidak mengenal / memakai “Nama Keluarga” atau “Fam”, setelah
kedatangan bangsa-bangsa Eropa barulah mereka mengenal hal ini.
“Nama Keluarga” atau “Fam” [Bhs. Belanda : Familie naam] dalam masyarakat Minahasa kini, tidak terlepas dengan silsilah-silsilah dan nama-nama yang ada dari zaman dahulu.
Pencantuman nama bapak
dibelakang nama sendiri mula-mula hanya “bersifat keterangan” bahwa
yang bersangkutan adalah anak dari nama tersebut, pada saat itu sudah
banyak terjadi perkawinan antara masyarakat setempat dengan pendatang
dari Eropa.
Pencantuman nama orang tua [Bapak] ini mulai terjadi sekitar akhir abad tujuh belas terutama di-Wilayah Walak yang lebih dahulu mengenal atau berhubungan dengan bangsa-bangsa Eropa.
Wilayah-wilayah tersebut ialah : Ares, Kalabat Atas
[Maumbi], Kalabat Bawah, Manado, Bantik, Tombariri, Kakaskasen dan
Tonsea tetapi “Pencantuman nama orang tua” ini belum menjadi kebiasaan
umum, juga para pemuka / pimpinan masyarakat belum terbiasa dengan hal
ini [ cat : sekitar tahun 1670 ada 23 Walak di Minahasa ].
Memasuki pertengahan abad delapan belas kebiasaan
“Pencantuman nama orang tua” ini sudah mulai terjadi di seluruh Walak
Minahasa walaupun juga belum menjadi kebiasaan umum [ cat : sekitar
tahun 1770 sudah ada 24 Walak di Minahasa dengan adanya Walak Negeri
Baru / Titiwungen ].
Ditahun 1851 barulah
kebiasaan “Pencantuman nama orang tua” ini menjadi kebiasaan umum
bahkan diharuskan dan menjadi “Nama Keluarga” akibat diberlakukannya
pajak [Belasting] oleh Residen saat itu [ Residen Scherius ] yang
diatasnamakan kepala keluarga dan lelaki dewasa
[ Penerapan kode sipil ].
[ Penerapan kode sipil ].
Ini pertama kali pajak diberlakukan di Minahasa yang
dinamakan “Pajak Hasil” dari sinilah masyarakat Minahasa secara resmi
memakai “Nama Keluarga” atau “Nama Turunan” dan dilindungi oleh
Undang-undang adat sipil [ Wetboek Van Civile Zaken tahun 1915 ].
“Nama Keluarga” atau
“Nama Turunan” bersifat tetap / permanen, tidak dengan mudah diganti
dan tidak dengan sembarangan dipakai karena menyangkut hubungan darah
atau hubungan keluarga dengan nama turunan tersebut.
Sumber : Mamahit
Tidak ada komentar:
Posting Komentar