Jumat, 19 Juli 2013

Asal Usul Penyematan Nama Keluarga (Fam) di Minahasa

Ilustrasi
SILSILAH dalam masyarakat Minahasa sudah dikenal dari jaman dahulu kala, jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa.
 
Para Walian [Pimpinan agama adat suku] selain ahli membaca tanda-tanda alam dan benda langit, menghitung posisi bulan, matahari dan mengamati bintang-bintang tertentu untuk menentukan musim menanam mereka juga dapat menghafal silsilah sampai puluhan generasi dan menghafal cerita-cerita dari leluhur-leluhur yang ada.

Sesuai adat istiadat dari zaman Malesung, silsilah ini akan dituturkan pada saat ada perkabungan, para Tua-tua adat atau Paendon Tua [Tua-tua dalam keluarga] akan menuturkan silsilah dari orang yang meninggal sebelum dimakamkan.
 
Juga adat dan kebiasaan dari zaman Malesung, para orang tua memberi nama pada turunannya atau anak-anaknya dengan berbagai arti antara lain : nama Dewa, Bintang, Gunung, hasil Nujuman [Penglihatan atau Mimpi], Kejadian Alam maupun Musim, nama kayu/pohon, juga kata majemuk yang memakai sisipan atau imbuhan yang mengartikan suatu hal atau suatu kejadian.

Masyarakat Minahasa tidak mengenal / memakai  “Nama Keluarga” atau “Fam”, setelah kedatangan bangsa-bangsa Eropa barulah mereka mengenal hal ini.
 
“Nama Keluarga” atau “Fam” [Bhs. Belanda : Familie naam] dalam masyarakat Minahasa kini, tidak terlepas dengan silsilah-silsilah dan nama-nama yang ada dari zaman dahulu.

Pencantuman nama bapak dibelakang nama sendiri mula-mula hanya “bersifat keterangan” bahwa yang bersangkutan adalah anak dari nama tersebut, pada saat itu sudah banyak terjadi perkawinan antara masyarakat setempat dengan pendatang dari Eropa.
 
Pencantuman nama orang tua [Bapak] ini mulai terjadi sekitar akhir abad tujuh belas terutama  di-Wilayah Walak yang lebih dahulu mengenal atau berhubungan dengan bangsa-bangsa Eropa.
 
Wilayah-wilayah tersebut ialah : Ares, Kalabat Atas [Maumbi], Kalabat Bawah, Manado, Bantik, Tombariri, Kakaskasen dan Tonsea tetapi “Pencantuman nama orang tua” ini belum menjadi kebiasaan umum, juga para pemuka / pimpinan masyarakat belum terbiasa dengan hal ini [ cat : sekitar tahun 1670 ada 23 Walak di Minahasa ].
 
Memasuki pertengahan abad delapan belas kebiasaan “Pencantuman nama orang tua” ini sudah mulai terjadi di seluruh Walak Minahasa walaupun juga belum menjadi kebiasaan umum [ cat : sekitar tahun 1770 sudah ada 24 Walak di Minahasa dengan adanya Walak Negeri Baru / Titiwungen ].

Ditahun 1851 barulah kebiasaan “Pencantuman nama orang tua” ini menjadi kebiasaan umum bahkan diharuskan dan menjadi “Nama Keluarga” akibat diberlakukannya pajak [Belasting] oleh Residen saat itu  [ Residen Scherius ] yang diatasnamakan kepala keluarga dan lelaki dewasa
[ Penerapan kode sipil ].
 
Ini pertama kali pajak diberlakukan di Minahasa yang dinamakan “Pajak Hasil” dari sinilah masyarakat Minahasa secara resmi memakai “Nama Keluarga” atau “Nama Turunan” dan dilindungi oleh Undang-undang adat sipil [ Wetboek Van Civile Zaken tahun 1915 ].  

“Nama Keluarga” atau “Nama Turunan” bersifat tetap / permanen, tidak dengan mudah diganti dan tidak dengan sembarangan dipakai karena menyangkut hubungan darah atau hubungan keluarga dengan nama turunan tersebut.

Sumber : Mamahit

Tidak ada komentar: