Minggu, 01 September 2013

Robert Wolter Monginsidi : “ Dengan hati dan mata terbuka, aku ingin melihat peluru penjajah menembus dadaku“

Ini kisah perjuangan seorang pahlawan nasional Robert Wolter Monginsidi yang ditetapkan pada tahun 1973 dan mendapat gelar Bintang Gerilya (tahun 1958) dan Bintang Maha Putera Kelas III (tahun 1960).

Dilahirkan di Manado Sulawesi Utara pada tanggal 14 Februari tahun 1925. Robert Wolter Monginsidi atau biasa mendapat sebutan dan panggilan kesayangan ‘Bote’ tepatnya terlahir di pesisir desa Malalayang dari ayah Petrus Monginsidi dan ibu Lina Suawa.

Semangat Bote untuk menuntut ilmu sangat tinggi sehingga walau waktu itu sulit untuk mendapatkan pendidikan usaha keras Bote akhirnya mendapatkan jalannya. Ia berkesempatan untuk mendapatkan pendidikan HIS tahun 1931, Sekolah MULO Frater Don Bosco Manado dan berlanjut ke Sekolah Pertanian yang didirikan Jepang di Tomohon serta Sekolah Guru Bahasa Jepang. Pendidikan terakhirnya ini yang menghantarkannya untuk menjadi seorang guru Bahasa Jepang di Malalayang Liwutung dan Luwuk Banggai dalam usia muda 18 tahun.
Pada saat itu Perang Dunia kedua sedang berkecamuk, setelah tentara Jepang tunduk kepada sekutu akibat bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki akhirnya Jepang mundur dari banyak wilayah termasuk di Indonesia. Jepang juga keluar dan digantikan oleh tentara Belanda yang masuk ke Makasar. Pada saat itu bersamanya dengan Robert Woltermongonsidi yang juga ke Kota Makassar dan terus melanjutkan sekolah lagi di SNIP Nasional kelas III di tahun 1945.

Perjuangan pergerakan kemerdekaan sangat menyebar diseluruh Indonesia, termasuk juga ke Sulawesi Selatan di Makassar. Banyak anak-anak muda berkumpul untuk meluapkan emosinya atas masuknya lagi tentara Belanda ke Indonesia. Para pemuda ini mendirikan organisasi perlawanan terhadap penjajah organisasi kelaskaran yang disebut LAPRIS (Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi), terpilih sebagai Ketua Ranggong daeng rongo, Sekjen Wolter Monginsidi.

Bote bersama para pemuda perjuangan revolusi menggerakan perlawanan terhadap penjajah Belanda. Dengan kekuatan dan peralatan sedanya terbukti para pemuda dapat mempersulit gerakan para serdadu Belanda yang bersenjata lengkap.  Berbagai taktik dan strategi Wolter memimpin gerakan perlawanan yang mencengangkan serta menegangkan pihak Belanda.

Keberhasilan dalam perjuangannya melawan penjajah, serta tekadnya untuk membebaskan bangsa ini dari cengkeraman penjajah sungguh tak dapat diraihnya dengan tuntas karena pada tanggal 28 Februari 1947 Wolter ditangkap tentara Belanda di Sekolah SMP Nasional Makassar.

Walau rantai-rantai mengikatnya di belakang terali besi, namun niat untuk meneruskan perjuangan bersama putra-putra bangsa terbaik tetap bergelora agar terbebas dari kunkungan penjajah. Pada tanggal 17 Oktober 1948 malam, bersama Abdullah Hadade, HM Yoseph dan Lewang Daeng Matari melarikan diri dari penjara melalui cerobong asap dapur, sebelum pelarian dilaksanakan, kawan-kawan Wolter dari luar telah menyelundupkan 2 buah granat tangan yang dimasukan di dalam roti.

Namun, walaupun tekadnya dapat terwujud tapi udara kebebasan hanya dihirupnya selama 10 hari sehingga impiannya melanjutkan perjuangan pupus, ketika pasukan Belanda menyekap kembali Wolter pada tanggal 28 Oktober 1948. Tertangkapnya Wolter akibat dari ruang gerak mereka sudah sangat sempit, juga, akibat bujukan dan rayuan Belanda untuk memberi hadiah bagi siapa saja yang menangkap Wolter diberi uang Rp 400,- Abdullah Hadade Rp 300,- HM Yoseph Rp 200,- dan Lewang Daeng Matari Rp 100,-. Dengan hadiah uang para pejuang kita dikhianati, di mana-mana ada mata-mata Belanda sehingga Wolter pernah mengatakan “ Tidak ada lagi bantal untuk kubaringkan kepalaku di sini.”

Wolter dimasukkan ke dalam tahanan di Kiskampement Makassar dengan tangan dan kakinya dirantai dan dikaitkan di dinding tembok. Wolter dijatuhi vonis hukuman mati pada tanggal 26 Maret 1949 oleh hakim Meester B Damen.

Dalam perenungannya menjalani hari-hari penuh duka mendekam di penjara menanti eskekusi hukum mati, Robert Wolter Monginsidi, mencoba menerobos kembali ke alam bebas lewat goresan pena yang dirangkai dalam deretan kata bermakna untuk saudara-saudaranya dan anak-anak bangsa sebagai ungkapan tekad dan kesetiaannya terhadap ibu pertiwi Indonesia serta harapan untuk meneruskan perjuangan suci buat bangsanya.

Salah satu pesan Robert Wolter Mongonsidi yang terkenal yaitu : "Jangan takut melihat masa yang akan datang. Saya telah turut membersihkan jalan bagi kalian meskipun belum semua tenagaku kukeluarkan."

Sesaat sebelum menuju ke tempat penembakan Wolter menjabat tangan semua yang hadir dan kepada regu penembak. Wolter berkata; “ Laksanakan tugas saudara, saudara-saudara hanya melaksanakan tugas dan perintah atasan, saya maafkan saudara-saudara dan semoga Tuhan mengampuni dosa-dosa saudara-saudara.“

Ketegaran dan keteguhan hati menghadapi moncong-moncong senjata yang dibidikan kepadanya dan menolak ketika matanya akan ditutup, ia berucap; “ Dengan hati dan mata terbuka, aku ingin melihat peluru penjajah menembus dadaku.“

Dengan pekikan’ Merdeka….merdeka..merdeka.. !!! dari Wolter, maka 8 butir peluru dimuntahkan ke tubuhnya, 4 peluru di dada kiri, 1 di dada kanan, 1 di ketiak kiri menembus ketiak kanan, 1 dipelipis kiri dan 1 di pusar, dan seketika ia terkulai. Wolter gugur dalam usia 24 tahun.

Tulisan ini sebagian bersumberkan dari riwayat Robert Wolter Mongonsidi yang ditulis oleh Drs. A. Noldi. Mandagie dalam peringatan 56 tahun wafatnya Bote di Tana’ Lapang Malalayang, Senin 05 September 2005. Tulisannya sudah dilakukan pengeditan oleh Redaksi.

Sumber : indonesianvoices

Tidak ada komentar: