Kamis, 15 Desember 2016

Pementasan Gagal, Sutradara Galau

Pementasan dengan racikan super canggih, terselubung serta berbalut kain sutra di negeri Siluman siap diperagakan para punggawa di atas pentas yang berusaha dibuat megah.

Seakan tak pernah lelah aktor A mengirim SMS ke aktor B. Seakan tidak pernah terlelap sang sutradara menyiapkan ramuan spesial, demi sebuah penampilan kolosal yang spektakuler.

Sambil make up artis mempersiapkan segala macam kosmetika, Produser pun sudah bersiap mengangkat setinggi - tingginya, cek berangka 6 digit, meski dianya itu mungkin hanya kolektor yang minta sana, mengemis di situ.

Apapun itu yang terpenting mega proyek bisa sukses karena ditopang dengan dana segar.

Maklum selain para artis, pementasan perlu mengikutsertakan para figuran, bahkan dengan jumlah yang relatif banyak, atau karena ini spektakuler, jumlahnya sangat membludak. Praktis pengeluaran pun tidak sedikit.

Semuanya telah siap, semuanya telah stand by. Count down 3, 2, 1, go...!

Pementasan pun berlangsung. Sutradara dan produser, karena sedikit pilek dan kepala pening, bersedia hanya menonton dari kediaman.

Pementasan pun berjalan, terus bergulir, dan ternyata...membosankan! Bukannya menarik selain mengecewakan. Bukannya membanggakan, sebaliknya memuakkan!

Sungguh sebuah pementasan yang jauh dar kualitas. Penonton pun menggerutu.

Ternyata...dan ternyata..para aktor tidak menyelami scrip secara benar dan menyeluruh. Para pemain figuran apalagi. Jangankan mengetahui plot, tujuan pementasan pun mereka tak sempat tahu.

Sutradara dan Produser mau tak mau harus mempertanggungjawabkan mega proyek di hadapan penonton.

Pementasan gagal, sutradara pun galau.

Sabtu, 16 April 2016

Jembatan Soekarno Manado: Permainan Empat Warna dan Simbol Kerukunan

SEBAGAI Proklamator dan Presiden Pertama RI, nama Ir. Soekarno banyak diabadikan sebagai nama jalan, tempat, wilayah dan masih banyak lagi.

Di Kota Manado, Provinsi Sulawesi Utara (Sulut) sendiri, nama ini diabadikan sebagai nama jembatan. Jembatan Soekarno, itulah nama jembatan dengan panjang1.127 meter dan Lebar 17 meter. Membentang di atas Pelabuhan Manado menjadikan jembatan ini menjadi ikon baru ibukota provinsi itu.

Tidak hanya hari libur, warga Manado, bahkan dari Kabupaten/Kota lainnya setiap hari, terutama pagi dan sore hingga malam, akan berwisata di atas jembatan sambil menikmati panorama teluk Manado, serta tentu saja, Pulau Manado Tua yang memang tampak dengan jelas.

Daya tarik jembatan berbandrol Rp300,28 miliar ini akan lebih memanjakan mata setiap warga saat malam hari. Penempatan lampu empat (4) warna, kemudian memantul ke dua tiang utama.

Itulah keindahan yang disajikan Jembatan Soekarno, itulah kebangaan seluruh warga. Empat warna yang menghiasi angkasa, Merah, Biru, Kuning dan Hijau, seolah menggambarkan kehidupan warga Sulut yang penuh warna, pluralis namun senantiasa harmonis.

Maka, tak ada kata menyesal jika kita datang ke Manado dan menyapa jembatan Soekarno dengan empat warnanya sebagai simbol kerukunan!

Kamis, 11 Februari 2016

Menakar Kompetensi, Membedah Komitmen

ilustrasi
SEJAK dilahirkan, manusia telah dinauherahi kemampuan oleh Sang Khalik. Kompetensi itu, sejatinya mengandung nilai positif demi pengembangan potensi subyek manusia sebagai insan ciptaan yang paling mulia di planet bumi ini.

Lucunya, sekaligus patut disayangkan, dalam perjalanannya, menapaki sejarah hidup, tak sedikit manusia 'salah arah,' pun berbelok arah, entah sengaja atau 'terseret' oleh hasrat personal, dan yang terparah, terbius oleh ambisiusme belaka.

Dalam masa itulah manusia diuji komitmennya. Tetap setia dengan komitmen, kembali ke jalur. Bersikeras dengan keserakahan, maju terus, meski jurang di depan mata.

Saat manusia lebih memilih maju terus dalam keserakahan, tanpa disadari(padahal akan selalu disadari), secara sengaja dan mau dia menghancurkan benteng komitmen yang di dalamnya bersemayam persahabatan, kesetiaan dan pengorbanan.

Penghancuran yang sesungguhnya sangat sia - sia, karena hanya demi sebuah ambisiusme belaka, lantas mempertontonkan kompetensi, padahal justru menguak betapa lemahnya kepemilikan kompetensi itu dalam diri sendiri.

Penghancuran karena telah menelantarkan kebersamaan. Penghancuran karena memang telah tercipta penghancuran komitmen.

Kelemahan yang diakibatkan kerelaan merengkuh 'kesenangan' sambil mengabaikan komitmen. Mungkinkah manusia - manusia seperti itu pengikut setia Aristippos dari Kyrene (433-355 SM) yang mengatakan hal terbaik bagi manusia adalah kesenangan?.

Kesenangan tidak melulu jasmani sebab, memimjam perkataan Epikuros (341-270 SM), memahami kesenangan tidak hanya mencakup kesenangan badani saja melainkan kesenangan rohani juga.

Kesenangan rohani sendiri tidak akan pernah dialami dalam keserakahan, keegoisan serta kesombongan, sebaliknya akan dijumpai dalam kebersamaan dan kesetiaan pada komitmen bersama. 

Jika demikian, patutlah kita bertanya dalam diri, berjalan di jalur manakah kita? Mari kita menakar kompetensi masing - masing sebagai permenungan sampai sejauhmana kesetiaan kita pada komitmen bersama! Sekian..!


Rabu, 25 November 2015

Politik Seolah - Olah Sang Penjilat

Ilustrasi
MAINKAN Peran Politikmu! Itulah yang saat ini sedang dilakonkan setiap pemangku kepentingan Pilkada di Sulawesi Utara (Sulut). Baik Kandidat, Tim Sukses, mesin partai, pendukung, organisasi sayap, relawan dan simpatisan, semuanya bergegas, demi menjadi 'the winner.'
Menariknya, dan ini kerap 'menari nari' di antara kesibukan politik, tampilnya oknum - oknum tertentu, bukannya gencar dengan aktifitas pemenangan, sebalikya sibuk dengan aksi menjilat. Dialah sang penjilat! Dan sang penjilat akan dengan 'bangganya' mempraktekkan politik seolah - olah.
Saat si kandidat hendak dimintai foto bersama, sang penjilat akan buru-buru berada di samping. Seolah - olah dialah pasangannya atau yang mengatur sessi foto bersama. Tak peduli kandidat justru terhalang oleh gaya eksentriknya.
Saat kegiatan berlangsung, sang penjilat akan dengan segera bertindak sebagai master ceremony. Seolah -olah, dialah komandannya protokoler.
Saat sessi wawancara, sang penjilat pun kerap pasang gaya di depan, seolah - olah dialah sang juru bicara. Dialah ketua media center. Dialah yang paling berhak berbicara mengatasnamakan sang kandidat.
Semakin menarik jika semua hal di atas, atas dasar profesionalisme dalam kerangka tupoksi, lantas tidak terjadi, murkalah sang penjilat.
Selesai sampai di situ? Tidak juga.
Jika wajah 'polosnya' saat berfoto bersama kandidat tidak sempat 'terjaring' untuk dipublikasikan, sang penjilat akan merasa dialienasikan.
Jika suara ocehannya tidak didengar, sang penjilat akan merasa diabaikan
Jika tidak pernah dimintai tanggapan, sang penjilat merasa disepelekan.
Jika sudah begitu, biasanya politik seolah - olah akan kembali diterapkan, namun dalam konteks 'aduan.'
Layaknya pihak yang diabaikan (padahal sangat tidak pantas), sang penjilat akan mengadu, tetapi ditambah sedikit bumbu, sehingga dalam dialek Manado, dikenal dengan 'Karlota.'
Sang penjilat merasa bangga dengan tindakannya. Tetapin itulah dia, sang penjilat. Berusaha meraup rezeki dengan hanya bermodalkan 'seolah - olah'...Seolah olah itulah rezekinya...!
Kalaupun target rezeki(mungkin lebih halus diistilahkan keberuntungan) tidak juga menghampiri dirinya, kalau bukan berdiam diri, parahnya sang penjilat akan keluar mencari zona baru. Untuk apa? Ya, menjilat juga.
Sayangnya, politik seolah - olah, di masa kini sudah terlanjur terdeteksi. Seolah - olah tidak tahu, padahal sangat memahami akan sepak terjang sang penjilat. Maka.., masa bodoh dengan sang penjilat!

Kamis, 12 November 2015

Ini Pertarungan Siapa?

Hiruk pikuk pesta demokrasi langsung di sejumlah Kabupaten/Kota di Sulawesi Utara, plus pemilihan Gubernur sudah sangat terasa dan terlihat.
 
Para pasangan calon, dengan memberdayakan semua kekuatannya, pun sudah masuk dalam ruang 'pertarungan' secara maksimal.
 
Ada calon, ada mesin partai, ada relawan, pendukung dan simpatisan. Semua bergerak maju. Tidak hanya mesin partai, mesin kendaraannpun terus dipacu. 
 
Pertarungan memang sudah berada di level atas, jika melihat kalender. Konsolidasi, sosialisasi dan pelantikan telah gencar dilakukan masing -masing kubu.
 
Menariknya, naiknya tensi politik turut diikuti dengan tidak meredanya psikologis kalangan tertentu yang tidak bersentuhan langsung dengan interest Pilkada.
 
Ada anak kecil berfoto sembari mengangkat jari tertentu. Ada juga ABG di bawah umur yang beraksi dengan atribut kandidat tertentu. Lebih menggelikan lagi, ada orang yang beradu argumen di media sosial tapi beralamat di luar Sulut.
 
Jadilah pesta demokrasi langsung berubah menjadi ajang pertarungan, tapi tersisip tanda tanya, "ini pertarungan siapa?"

Senin, 21 September 2015

Taman Kesatuan Bangsa Manado, Mana Tempat Dudukmu?

MELEPAS segala kepenatan usai seharian kerja, bisa dilakukan dengan duduk santai di Taman Kesatuan Bangsa(TKB), apalagi kalau mentari sudah mulai berkedip di ufuk barat. 

Paling asyik mengambil tempat duduk yang mengitari bundaran air mancur(meski terkadang airnya lagi malas sehingga kolamnya dengan bangga berkata 'aku kering ya lau').

Tapi, entah mau mau bertanya kepada siapa, kerap tempat duduknya hilang. Lho, koq bisa? Tentu saja bisa. Bagaimana caranya?. Untuk bisa mengetahui hilangnya tempat duduk, datanglah ke TKB sore jelang malam atau sekitar pukul 17.30 Wita..

Tempat duduk dipastikan masih menampakkan diri dengan jelas. Tunggu sekitar 30 menit, dipastikan setengah dari tempat duduk sudah berangsur menghilang.

Ini bukan tentang ilmu gaib, bukan juga hasil perbuatan dari para pedagang obat, yang memang sering mangkal di seputaran TKB, karena ini tentang aksi para pedagang kaki lima (PKL) yang mulai meletakkan barang dagangan di tempat duduk.

Tempat duduk akan hilang karena barang dagangan yang diletakkan sangat banyak. Kayaknya para PKL itu memang berniat buka kios di TKB.

Di sisi lainnya, pedagang makanan sudah pasang patok. Itu tempat mereka.

Kalau sudah begini, silahkan para pencari refreshing untuk mundur, duduk di tempat duduk di sisi lainnya kalau tidak mau berdiri.

Sungguh pemandangan yang aneh tapi sangat nyata, Para PKl dengan santainya mendudukan barang jualan tanpa peduli dengan warga yang sebetulnya ingin duduk. 

Tapi sejengkel apapun, itulah faktanya. So, Taman Kesatuan bangsa, di mana tempat dudukmu? Jangan pernah tanya kepada para penjual bongkahan batu akik, karena mereka memang berada di luar TKB.

Minggu, 20 September 2015

Pengalamanku tentang Orang Tua Tanpa Alas Kaki

BERALIHNYA rezim Orde Baru ke Era Reformasi, tepat di bulan Mei tahun 1998 silam, saya sedang berada di satu tempat. Tempat yang di masa itu terbilang sangat jauh dari hiruk pikuk perkotaan yang identik dengan keramaian, juga penuh kesesakan.

Tempat di mana saya berada itu, pun sangat jauh dari informasi. Jangankan bisa menyaksikan infotaiment atau berita, yang punya parabola hanya satu dua keluarga. Koran hampir tidak pernah terlihat. 

Seperti itulah gambaran singkat yang bia digambarkan. Saya tiba di desa itu bulan Februari untuk melaksanakan KKN/Pastoral.

Terlepas dari banyaknya kekurangan, yang tidak akan pernah saya lupakan adalah semangat dua orang tua. Keduanya adalah suami istri.

Setiap hari minggu atau hari di mana ada jadwal ibadah, kecuali sedang berhalangan, kedua suami istri yang berusia 50-an itu, pasti hadir.

Di awal - awal saya tidak terlalu memperhatikan. Lagipula tugas saya bukan untuk itu. Tapi semakin lama, bukan memperhatikan, namun lebih pada sikap tertarik. Betapa tidak, sangat sering kedua orang tua itu hadir di tempat ibadah, tanpa memakai alas kaki, saat berjalan dari kediaman mereka. Keduanya pun biasanya akan melempar senyum begitu tiba di tempat beribadah.

Pikiranku, mungkin sayang dengan sepatu, sehingga dipakai saja saat sudah tiba di temat ibadah..

Rasa penasaran membuat saya susun jadwal melakukan kunjungan keluarga, dan tentu saja termasuk suami istri itu.

Dengan ditemani salah satu pemuda, saya mulai mengunjungi rumah demi rumah. Selain melakukan pendataan, sedikit berbincang - bincang sambil melepas lelah.

Begitu akan menuju rumah suami istri itu, berdua kami berjalan lagi. Derap langkah kaki kami terus naik menanjak ke arah perbukitan dengan kondisi jalan setapak yang masih tanah, sesekali ada bagian yang dilapisi bebatuan kecil. Sekitar 20 menit, saya minta istirahat sembari bertanya, apa masih jauh. Si pemuda dengan senyum menjawab sudah dekat.

Perjalanan dilanjutkan. Tapi hingga 20 menit kemudian, rumah yang dituju belum juga terlihat, sementara jalannya masih tetap menanjak.

Dibalut rasa penasaran, meski rasa capek sudah stadium empat, kami terus berjalan. Dan, syukurlah, kami berdua akhirnya bisa tiba juga di rumah kedua orang tua itu. Dengan nafas ngos - ngosan, si pemuda mengetuk pintu. Saya sendiri lagsung duduk di depan rumah karena kelelahan, apalagi air mineral yang dibawa sudah ludes dalam perjalanan.

Capek, haus dan mulai lapar yang mulai bergabung dalam sekejap menjadi lebih menyatu saat mengetahui kondisi rumah sedang kosong alias tidak ada penghuninya.

Dalam hati saya sedikit kesal. Ke mana kedua orang tua tanpa alas kaki itu? Sudah berjalan jauh - jauh malah orangnya tidak ada. Hari pun mulai sore jelang malam. Tapi mau berkata apa. Sekitar 10 menit istirahat, saya mengajak si pemuda untuk pulang.

Dengan posisi jalan yang menurun, perjalanan lebih cepat. Karena ingin buru - buru, mengingat malam mulai menyapa, padahal kondisi jalan yang lumayan ada tantangannya, kami berdua jalan cepat. Dan, hanya sempat bersuara "ehh...ehhhh.." saya pun berhasil jungkir balik.

Alhasil, celana dan kaos penuh becek. Oh ia, jalanan memang agak basah, ditambah tanahnya jenis tanah lilin.

Dengan sangat kesal saya berdiri melanjutkan perjalanan. Si pemuda tampak biasa saja. Mungkin dalam hati sudah tertawa, tapi malu ketahuan. 

Kami tiba di tempat saya menginap sekitar pukul 18.30 Wita. Tanpa basa basi saya langsung menuju kamar mandi.

"Ke mana kedua orang tua itu,"? terus tergiang di telinga. Ahh...habis mandi pemilik rumah menyuguhkan segelas kopi hangat.

Sambil menikmati kopi, saya mereview perjalanan yang melelahkan barusan. Kenapa kedua orang tua itu selalu berjalan tanpa alas kaki, saya mulai mengerti. Hmm... ternyata kalau dipikir - pikir memang masuk akal juga apabila sepatu ditanggalkan saaat berjalan, karena memang jalannnya tidak mulus, apalagi kalau hujan, dan memang jarak rumah mereka dengan pusat perkampungan sangat jauh.

Tapi yang membuat hati ini tertegun, kehebatan kedua orang tua. Meski jauh dan tanpa alas kaki, tetap mencari TUHAN. 

Sudah berjalan sangat jauh disertai resiko terjatuh karena jalanan licin, kedua orang tua itu selali tersenyum. Luar biasa! Tida terlihat raut wajah yang lelah apalagi mengeluh.

Lama kelamaan, dari yang sebelumnya masih merasakan lelahnya perjalanan, saya pun mulai tersenyum.Saya yang datang dari daerah yang biasa dengan keramaian, justru memperoleh pembelajaran tentang bagaimana manusia harus memposisikan diri dalam upaya mencari Sang Khalik.

Sungguh sebuah pengalaman pembelajaran akan hakekat hidup manusia. Tanpa alas kaki, itulah kesederhanaan. Selalu tersenyum, itulah gambaran keikhlasan. Berjalan jauh dengan kondisi jalan yang licin dan menanjak, bukankah itulah perziarahan manusia di dunia ini? Itulah yang coba diingatkan oleh kedua orang tua tanpa alas kaki, kepada kita semua.

Keduanya tidak mengeluh meski harus menempuh perjalanan yang jauh. Keduanya pun berjalan bersama - sama. Sungguh indah dan menakjubkan! Itulah salah satu pengalaman nyata yang bisa alami saat ber- KKN di Kampung Karatung Dua(Bahoi) Kecamatan Manganitu. Dan saya sangat berterima kasih atas semua pengalaman, secara khusus yang diberikan orang tua tanpa alas kaki.(*)