Minggu, 01 September 2013

Mengenal Raja Manganitu, Don Jugov Sint Santiago

Tahun 1571 Spanyol menaklukan Philliphina, sampai  kemudian Bataha mulai mengikuti  pendidikan di Universitas Santo Tomas Manilla ( Intramuros ), letaknya di pulau  Luzon. Ketika  itu,  Spanyol sudah memperluas  kekuasaannya  ke  seluruh  kepulauan Philliphina termasuk  sebagian  wilayah di utara  Indonesia. Bataha mulai  kuliah  di   Universitas St. Tomas  pada   tahun  1666  dalam   usia   empat puluh  empat   tahun. 
Bataha   menyelesaikan  pendidikan  tahun 1670. Selama   masa  pendidikan,  Bataha sempat  pulang  dan  mempersunting  putri  bangsawan  Tahuna  bernama Lekumbuwe. Dari  perkawinan  tersebut  memperoleh  anak   bernama Dalepe.
                Hari  masih   pagi, Bataha sudah bangun dari tempat tidur. Nampaknya  sedang  berkemas. Hari itu  juga dia   harus  meninggalkan  Manilla dan  pulang ke Manganitu, karena  masa belajarnya sudah selesai. Empat  tahun  bukanlah waktu   yang   pendek.  Ditempat  ini,  tepatnya   di  Universitas  Santo  Thomas, banyak  hal   sudah  ia  pelajari.  Letak Universitas  St. Tomas  tidak  jauh   dari    Fort  Santiago . Sampai  menjelang   keberangkatan,  Bataha  tidak   lagi   bertemu  dengan  temannya dari  Siau, Franciscus Xaverius  Batahi.
Sebagai seorang   Khatolik, bataha tidak melupakan   perlengkapan  yang  berhubungan  dengan  keagamaan  seperti  biblle,rosario dan   buku – buku   lainnya  termasuk  buku-buku  pelajaran. Berat   rasa   meninggalkan  teman-temannya. Tetapi  bataha   harus   pulang. Dipintu kamar,  sekali  saja  dia   melakukan   tanda   salib.
                Dengan   banyak   perlengkapan pergilah Bataha menuju  pantai. Dipelabuhan   sudah  siap  sebuah   Konteng, perahu   kerajaan   yang   dikirim  ayahnya   Datu  Tompoliu (datu  adalah  sebutan   untuk   raja di  kepulauan  sangihe). Dari perahu menunggu seorang  Bobato, seorang  Kapiten  laut, pengawal  istana, alanga  atau  elang  (hamba  atau budak) yang  bertugas  sebagai   pendayung. Ada  juga  seorang   kakek tua yang  memegang Tagonggong. Perahu   ini   cukup   mewah untuk   ukuran masa itu. Pada bagian Ujung  haluan dan  buritan terdapat  pahatan  berbentuk  buah   bitung. Dengan  dipapah   oleh  para    pengawal  dia  naik   ke  perahu. Belum   juga   duduk   dia  melakukan satu   kali lagi  tanda  salib.
                Sangat kental   nilai-nilai  Khatolik  pada   dirinya. Maklumlah, Bataha  sudah di baptis  sebagai  khatolik  dengan  nama  Don Jugov  Sint  Santiago waktu  kecil di Istana Tatahikang. Bataha,     dibesarkan dalam  kalangan  keluarga   Khatolik di istana kerajaan  yang  dibangun  kakeknya  Liuntolosang, bersama  ayahnya di  Kauhis.
                Terdengar   komando,…..siap   berangkat dari   Kapiten  Laut. Tak  ada  angin,  tak  ada  ombak, memuluskan   perjalanan  pulang  ke  Manganitu.  Dari   Manila   mereka  melewati   Ilo-ilo, jolo, cotabato, general  santos, menyusur   pulau-pulau  di  Philliphina   sampai  ke  ujung pulau  Mindanao   selatan, pulau  Balut dan  seterusnya. Mulai  Nampak   Marore,  sementara   Miangas terlihat sangat  kecil. Pelayaran  mereka  semakin  dekat  dan  sudah   kelihatan samar-samar pulau  sangihe. Semakin  dekat makin  jelas pulau Nipa dan  sekitarnya, pulau  Beng  darat.  Saat  ini  haluan   mengarah  ke selatan melewati pulau  Batunderang, pulau  Bebalang, pulau  Mahumu, tanjung  Sahong, tanjung Lelapide, tanjung Bulude, akhirnya   sampailah   mereka di wilayah   kerajaan  Manganitu dibawah  kekuasaan ayahnya  Tompoliu. Sesudah  melewati  pelabuhan kerajaan yang  terletak  di semulawak, perahu  diarahkan keantara   dua   pulau  kecil di  depan  Tatahikang.
                Disana  sudah  bersiaga   prajurit  kerajaan,  para  dayang,  terutama   isteri  dan   adik-adiknya,  tampak Diamanti   dan  Sapela yang   melambaikan   tangan. Sang  ayah  berdiri di  atas   tanjung  mengapit   pedang  barļa. Tompoliu,  kelihatan  sudah   semakin   tua. Tergambar   kegembiraan di rautnya  karna  telah  datang   sang penerus  kerajaan.
                Perjalanan  yang  ditempuh berhari - hari  lamanya. Hari  ketika  Bataha  tiba tepat   dihari   Minggu.  Tanpa  lelah,  diperintahkanya para   pekerja  perahu   untuk   mengantarnya  ke  Gereja. Letak   Gereja   dari Istana   sekitar   5 km. Sesampai   ditanjung Liang,  Gereja yang   dulunya   megah, sekarang mulai   rusak.  Sejak  tahun 1619,  para   pemeluk  Khatolik adalah  musuh  bagi  VOC , terutama   warga   Spanyol dan Portugis. Penduduk  dipaksa  untuk   menganut  agama  Kristen Protestan. Semua  yang  berhubungan  dengan kegiatan keagaman Khatolik  dimusnahkan.
UPACARA MELAHUNDUITANG
Hari   masih  pagi buta, beberapa orang  Minihu (tukang  palakat) telah  beranjak dari  tempatnya   ke semua  desa di  pusat   kerajaan  Manganitu, mulai  dari Barangka  sampai  ke Kauhis. Mereka  mengumumkan penyampaian  dari  Datuk  Tompoliu bahwa  akan ada   pengangkatan   raja  baru   untuk  menggantikan  kedudukannya.
Beberapa hari kemudian bataha dipanggil oleh  ayahnya.  Malam  hari diruangan utama berkumpullah kerabat   Istana. Terlihat  beberapa  allangga, elang kerajaan  mempersiapkam  ruangan   membersihkan   lantai  yang  akan  diduduki. Beberapa   tikar  dari   bahan  pandan terbentang dilantai. Sekejap,  satu-satu   padamara   mulai  di pasang. Saat  sebelum  kegiatan   dimulai  terdengar   musik mengalun  yang  di kumandangkan oleh  sekelompok pemain musik Oli’ di  teras   depan  istana. Sebuah   Tagonggong   kerajaan  ditabuh  berkali-kali,  sesudah  itu  suasana menjadi hening.
Padamara di Istana kerajaan  Manganitu.
Duduklah  Tompoliu dan  berkata ;  Aku  sudah  sangat  tua, saatnya kedudukan raja diganti oleh  orang yang  lebih muda. Dilihatnya   Bataha, dan  menoleh  keisterinya  Lawewe, tampak juga di  samping  kanan, saudara  kandung   Tompoliu   bernama Lantemona.  Ada   percakapan  kecil  dengan  Lantemona. Sang   Boki  kelihatan  biasa-biasa   saja,  sambil mengunyah    sirih.                          
Tompoliu  kembali  bercerita, diantaranya  tentang silsilah Tolosang. Kakek kalian   Liuntolosang mati  dan   dipancung kepalanya   di Tahuna karena   mempertahankan  batas  kerajaan  yang dirampas Kerajaan  Tahuna. Kini pasukan  VOC mengambil hak  kita.
Banyak  hal  telah mebebani   kerajan  Sejak orang   tua  saya  berkuasa. Untuk  itu  saya   menetapkan seorang pengganti,  yaitu  Bataha. Disamping sebagai  seorang  terpelajar,  dia  juga  memikul   tanggung jawab  I akang ganting ghagurang “. Semua  sepakat.  Lantemona  menyerahkan  sebuah   Baļa (pedang raja) dan  bengko (tombak) pusaka yang  digunakan  membunuh  Pulungtumbage dalam perang  Tahuna  -  Manganitu. Ayahnya Tompoliu  menyerahkan  satu   gulungan  rokok  peninggalan  dari Lumanu (kulano  Manganitu).
Setelah   mengadakan  persiapan, tibalah  hari  penobatan  Raja  baru.  Penobatan   raja  baru  diadakan    melalui   upacara   Melahunduitang atau   penobatan pengeran   diatas   pangeran. Bataha  duduk   bersila,  kedudukanya berada  di posisi   terdepan  menghadap   Raja Tompoliu. Iring –iringan  musik  Oli’  berbunyi  disertai  suara  seorang perempuan  tua   yang  denden (berpantun).
Suara  tagonggong berbunyi   dilanjutkan  dengan pengucapan  sasalamate sebagai  pesan  dan  nasehat kepada   raja   baru. Tidak   tampak  nuansa keagamaan khatolik di  dalam  acara. Karena  sejak  Spanyol dan  Portugis tidak  lagi  berkuasa  atas  sangihe,  misi   khatolik   telah  ditinggalkan  selama  kurang  lebih 100  tahun,  sampai  kemudian  datang   Misi  Zending. Yang   tampak   hanyalah,  ampuang, tatanging dan bihing yang  sibuk  membakar   kemenyan. Mereka  datang  sebagai tamu.
Beberapa hari setelah  pengangkatan Bataha  menjadi   Raja,  meninggallah  sang  ayah “Tompoliu” .  Kabut  duka   menyelimuti  rumah   raja  Tompoliu di Tatahikang. Jenasah  sang  raja   dimakamkan  dibelakang  Istana raja. Penghargaan  terakhir, dibuatlah  sebuah  makam  indah, yang dibuat  dari  susunan   batu-batu   dengan   konstruksi  berbentuk  lonjong setinggi limapuluh   sentimeter. Sebelum  meninggallnya   sang ayah, Santiago   memperisteri   Maiang sebagai isteri ke dua  dan  memperanakan   seorang  putera   bernama  Sinadia.
Makam : Raja  Tompoliu di Tatahikang
                                                                                                       
TUMBAL  PERSELISIHAN  SPANYOL  DAN  VOC
                Bataha menjadi  raja  atas   Manganitu, pada  tahun 1670. Hal   pertama  yang  dilakukan  adalah   memindahkan   pusat   kerajaan  ke Bowongtiwo Kauhis. Kedudukan Bowongtiwo berada di atas  tanjung  liang yang dulunya adalah pusat  kerajaan pertama yang disebut Kerajaan Kauhis. Jarak   dari  Tatahikang  ke  Bowongtiwo diperkirakan  3  km. Pemindahan   pusat   kerajaan  disebabkan   dua  alasan  yaitu ; Mengenang  masa  kecil dan konsep strategi   pertahanan  perang. Bataha dibesarkan   oleh kakeknya  Liuntolosang  yang   juga  adalah  Raja  pertama  kerajaan  Manganitu.         
Tahun   pertama  pemerintahan   Bataha dikerajaan  Manganitu,  mulai  disusun  strategi pertahanan kerajaan  terhadap  serangan  musuh. Istana  kerajaan  di  Bowongtiwo  adalah   tempat   yang  paling  baik untuk   memantau  kedatangan   musuh  dari  dua  sisi. Bataha dapat memandang langsung dari depan  istana. Dari   Bowongtiwo  dapat   dipantau   perahu-perahu  yang   masuk   dari selatan di depan  Tanjung  Bulude dan  dari   utara  di depan  Maselihe.
Masa disaat   pemerintahan   Bataha, merupakan  masa  yan  berat   bagi   Kerajaan-kerajaan  utara  dan  Kesultanan – kesultanan di  Kepulauan  Maluku, termasuk  Kesultanan di  kepulauan  Philliphina. Daerah  ini  merupakan jalur pelayaran ke utara Nusantara.  Kondisi  pelayaran  ini  dipenuhi  dengan   keinginan  monopoli  dagang  antara   Kerajaan Portugis, Kerajaan Spanyol  dan  Kerajaan Belanda. Pulau  Sangihe   merupakan  pelintasan  utama armada   laut  Spanyol  dari Philliphina   ke  Kepulauan  Maluku.
30 Maret  1667 diadakan   perjanjian    antara  sultan  Ternate, sultan  Tidore yang menyerahkan wilayah  kekuasaannya  sebagai bagian  dari VOC. Ketika   itu sultanat   ternate dan  sultanat tidore  telah  mengklaim kekuasaan atas Jazirah   Minahasa  dan  kepulauan  Sangihe. 15 Mei 1671, Tuan-tuan XVII atau de heren zeventjen sebagai pelindung  VOC  di  kerajaan  Belanda menetapkan  Siau   sebagai   bagian   dari  kekuasan VOC. Sejak   saat   itu   daerah-daerah yang  berpotensi rempah-rempah  dikepulauan   Sangihe mulai  dikuasai  VOC. Keberanian  VOC   merampas daerah   yang   sebelumnya  dikuasai  Spanyol  karena  didukung  oleh kesultanan  Tidore sebagai   kakitangan  VOC. Keinginan bangsa  barat   memonopoli perdagangan di utara   Nusantara menjadikan  beberapa  kerajaan  sebagai  taruhan kemenangan. Kepulauan  sangihe  mempunyai  kedudukan yang  sama  dengan   kepulauan Maluku.  Keadaan  alam  sangihe  dipenuhi   dengan  tanaman   Pala,kelapa,  disamping  itu  ada  juga  tanaman  cengkeh.
Semenjak  Tompoliu   memerintah  dikerajaan Manganitu,  sudah  terjalin  persahabatan  yang  erat   antara   Spanyol  dan  Kerajaan   Manganitu. Untuk  menjaga kerajaan  Manganitu   dari  kemungkinan   serangan  VOC, spanyol   telah   menghadiahkan   dua  buah   meriam  besar. Persahabatan    inilah   yang   memicu keinginan VOC   untuk menaklukan Manganitu. Dalam   masa   pemerintahan  Raja   Bataha,  kerajaan  Manganitu  mencoba   mengambil  hati   raja-raja   lain  di pulau   Sangihe  menyatukan   tujuan untuk   berperang   melawan  VOC. Dikirimlah   beberapa  utusan dengan maksud mengadakan   kesepakatan menjelang masuk   dan  berkuasanya VOC di  kepulauan  Sangihe. Bataha  tahu  persis misi bangsa  barat datang   ke Timur  semenjak   belajar   di  Manilla. Setibanya di  Manganitu dia  baru  sadar  bahwa   neg’rinya  sedang  dijajah.
BERSIAP UNTUK BERPERANG
                Suatu hari  diawal tahun 1675 dalam  istana kerajaan   Manganitu, telah  berkumpul    pejabat-pejabat  kerajaan. Bataha duduk  di tempat  duduk yang agak   rendah sehingga  kakinya  dapat  di lipat. Disekitar  bataha   sudah duduk  bersila  dilantai,  para   Bobato kerajaan  Manganitu  dan  kapiten      laut dan pejabat  istana lainnya. Hadir juga adik-adik dari  Bataha yaitu Diamanti, Sapela, Apueng, Gaghinggihe. Dibagian  belakang  terdapat  hokolimampulo (Bangsawan) dan Bahaning beo’e (para   pemberani). Bataha  menyampaikan keadaan Nusantara, dengan penuh  keyakinan   dia   mengatakan bahwa kita sedang  di permainkan.  Kita  bukan  sahabatnya  Spanyol, kedatangan   mereka hanya   ingin  mengambil apa  yang   kita  tanam. Adapun VOC adalah warga  yang  datang  dari   daerah  yang sama dengan Spanyol. Pasti  keinginannya  sama seperti  yang  telah  dilakukan  di Maluku. Kita  jangan  sama seperti Mandarsyah……….
                Sesaat   kemudian Bataha  memerintahkan seorang  prajurit dipintu masuk untuk mengambil  krikil dipantai. Sang  prajurit dengan  seorang  Allangga turun  kepantai  mengambil  krikil  secukupnya. Bataha   mulai  menunjukan  melalui  batu-batu  kecil,  meletakan  pada   posisinya di  lantai yang  terbuat   dari  papan. Apa  yang ditunjukannya adalah  posisi  Spanyol  di  Manila   dan  jalur  pelayaran ke  Maluku. Bataha  juga   menunjukan  kemungkinan   masuknya  Belanda dari arah Tamako. Hari   mulai  gelap datang seorang  kerabat   raja  menjamu orang-orang didalam istana. Percakapan  dihentikan  sejenak karena   telah   ada  Sagu  bakar diatas piring   porselin yang  siap  dimakan dan beberapa  ekor   ikan  laut. Bataha  lalu  menjelaskan bermacam  strategi yang  diperlukan   dalam  rangka  menghadapi VOC jika  menyerang Kerajaan  Manganitu   seperti  yang  telah dilakukan  di Kerajaan Siau. Banyak  hal  yang  sudah  dibicarakan  termasuk  kesiapan  Perahu-perahu  perang  dan  alat – alat  perang.  Kedudukan  para  bahaning beoe dilokasi  masing-masing. Pertemuan  hari   itu   berakhir menjelang  subuh.
                Yang   mendorong   Bataha  untuk   bersiap  perang   adalah  Palakat Panjang” atau Lange Contract  yang   dikeluarkan  VOC,  sangat  merugikan   pihak  kerajaan. Isi   Plakat   panjang  antara  lain. Musnahkan  tanaman   cengkeh, tidak   boleh  ada  penganut  agama  Khatolik dan  semua  benda  yang  digunakan  di gereja  khatolik sebagai  bentuk  kekafiran. Semua   wajib   menganut  agama Kristen Protestan. Beberapa  benda  yang  ada  di  gereja  khatolik  kauhis ditanam   didekat  salah  satu  muara sungai  di perkampungan  kauhis. Sebelum  kemudian  gereja  tersebut  dihancurkan  oleh VOC.
                Sebagai   seorang  raja   yang  terpelajar,  bataha   menganggap  perjanjian  itu   merugikan  kerajaan  dan  rakyatnya.  Bataha  yang  juga  seorang  khatolik   merasa  tersinggung  dan  terhina atas  perintah  untuk   menghancurkan  benda –benda  yang  berhubungan  dengan  gereja.
Setelah  mendengar  berita  tersebut dia  lalu  meremas  Rosario  ditangannya,  kelihatan  mulutnya   komat-kamit. Mungkin  mengucapkan  doa. Sejak mendengar  berita tersebut  semakin  gencar  dia  menggalakan  persiapan  perang.
PEPERANGAN DIMULAI
                Waktu perang datang  juga. Sultan  sibori  anak sultan Mandarsyah  dari   Maluku diperalat  oleh  VOC  datang  ke Manganitu  untuk mempertegas  perjanjian  yang  telah  dibuat  sepihak. Bataha harus dihukum. Tapi  hasilnya, Bataha tidak  mau  menandatangani   surat  perjanjian  tersebut. Sultan  sibori kembali  ke  Maluku  untuk menyampaikan  hal  tersebut  kepada  pihak VOC. Sambil  menunggu jawaban  dari  pihak  VOC,  Bataha  mengadakan  pertemuan  dengan  para   pejabat  kerajaan dan  semua  pihak   yang  terlibat  dan  melibatkan  diri  dalam  peperangan.  Dalam  pertemuan  itu  dengan  tegas  Bataha  berkata : “ I kite mendiahi wuntuang ‘u seke,nusa kumbahang katumpaeng  yang artinya, kita  harus menyiapkan  pasukan  perang, negeri  kita  jangan  dimasuki  musuh.
                VOC membuat  siasat  baru yaitu mempersunting Sibori atas putri  raja  Tabukan bernama Maimuna. Pernikahan  tersebut dilakukan  untuk  mempermudah   masuknya  pasukan  VOC  dan  sekutunya   Sultan  Sibori   untuk  tinggal  lama  di pulau  Sangihe.  Sejak  saat  itu  di mulailah  peperangan  antara  VOC dan sekutunya  Sultan Sibori melawan pasukan  Kerajaan  Manganitu.
Armada  VOC dikirim dari  Maluku sampai  ke  pusat  kerajaan Tabukan  di  Soa Tebe. Dari  Tabukan  mereka menyusur  pantai sampai  ke Tanjung  Maselihe. Memasuki  laut didekat  tanjung  Lesa para  pengintai yang   bersembunyi di Lembabua sudah  meberikan  pesan  kepada  pasukan dikerajaan   Manganitu secara  berantai. Bataha memantau   dari depan  Istana di atas  tanjung  liang.  Dengan cekatan,  Bataha   dan  para   prajurit langsung  turun ke Semulawak karena  perahu  perang  ada  dipantai  tersebut. Bataha  memimpin  langsung  peperangan  dilaut sebagai   panglima  laut.
                Strategi   perang  yang digunakan adalah :  Bataha menggempur  pasukan  laut  musuh mulai  dari   pantai  Bahoi,dia   sendiri   yg  menjadi panglima  laut. Sedangkan Diamanti  berada   dipantai   dengan   pasukan  darat. Jika  mungkin  pasukan  laut  dan  pasukan  di pantai melemah, maka Sapela  sudah  siap  dengan  pasukan  gunung. Kalau  sampai  terdesak  mereka  akan  berlindung di atas  bukit yang  jauh  dari   pantai  seperti  di daerah bentihe,  peka dan  berakhir  di Longso (dekat  batumbakara).  Disana  terdapat  benteng  kecil  yang  disusun  dari  batu-batu besar.  Benteng  tersebut  bernama  Batumbakara.
                Berhari-hari  lamanya mereka  melakukan  pertempuran,  akan  tetapi  pasukan  Bataha  tidak  dapat  dikalahkan. Banyak  korban  jatuh  dari kedua pihak.  Melihat   keadaan  tersebut,  oleh  VOC perang dihentikan. VOC  mencari  siasat   baru untuk  mengalahkan  Bataha. Dicarinyalah teman dekat  Bataha untuk membujuk  Santiago  agar   menyerah. Ditemukanlah   dua  sahabat   Bataha. Mereka  adalah  Sasebohe dan  Bawohanggima, masing-masing dari  Tabukan  dan  dari  Pensu’.
HARI – HARI  MENJELANG  KEMATIAN




Lokasi  tempat  pelaksanaan Eksekusi  Bataha  Santiago, berdasarkan  penggalian  dari  Bapak, Maker Madonsa (budayawan Sangihe)

Diketahui bahwa  Santiago  berada  di  bekas istana  di  Tatahikang. Mereka  mencari  bataha   untuk  berunding. Kedatangan  mereka  diketahui  oleh  Bataha. Bataha dan  prajuritnya  langsung berlari menyusur  pantai sampai  ke  pantai  kauhis. Dipantai kauhis bertemulah dua  pihak  tersebut.  Sasebohe dan  bowohanggima  berusaha  membujuk Bataha  agar   menyetujui  perjanjian. Bataha  tetap  saja  menolak,  lalu   terjadilah   pertempuran  antara  kedua   pasukan.
Agar  supaya tidak  jatuh  korban yang lebih  banyak, Bataha   langsung   menghindar  dari  tempat  itu. Dengan   langkah   cepat  dia  beranjak   dari   pantai  lalu   menuju  Istana yang jaraknya  tidak  jauh. Setibanya   diistana,  terlihat  keluarga   dan  kerabat  dekat  sedang   berkumpul. Rupanya  mereka  sedang mebicarakan keadaan  bataha. Sinadia sang  anak dipeluknya, lalu  mendekatlah  sang  ibu.  Ibunya  menyampaikan   beberapa  kata  yang   mendorong semangat  juang  bataha. Jadikanlah dirimu  sekuat  namamu  “Bataha”  bataha berarti sakti. Dengan  beberapa  puluh   orang  pengawal  dan  prajurit,  mereka  melanjutkan perjalanan ke arah  bukit. Sebentar  saja  mereka  sudah  tiba  di bowoluhu, lalu ke peka  diatas  bahoi dan  kemudian  berakhir  di  Batumbakara.
Bataha  masuk   kedalam, naik  keatas  batu sambil  menatap  indahnya pantai  sangihe. Nampak   dua  pulau  kecil  di depan   Tatahikang yang  disebut  pinebentengang”.  Kearah  lain dia  menatap Sahendaļumang, gunung  para  leluhur. Belum lama  mereka  berada di  Batumbakara,  muncullah dua  sahabatnya yang  nanti  berkianat, Bawohanggima  langsung   masuk.  Sebagai  sahabat,  batahapun  mempersilahkan  masuk. Sebelumnya bataha  sudah  mendengar  kabar, jika  bataha  tidak  mau  menyetujui perjanjian  taruhannya  adalah rakyat, keluarga  dan  kerabat  yang  ada   dikerajaan  Manganitu  akan  dihukum.
Tanpa  banyak  tanya,  bataha  langsung  turun  sampai  ke pantai  paghulu. Disaksikan  oleh beberapa  keluarganya,  dia naik  keperahu VOC menuju  ke  Tahuna bersama-sama dengan perahu  yang di tumpangi  Sultan Sibori. Tak  satupun  keluarga  yang berani  menyapa. Sebelum perahu didayung,  bataha  sempat  meneriakan “Nusa Kumbahang Katumpaeng”, seperti  yang  sering  diucapkan  selama peperangan. Perahu berlabuh  di  pantai   Bungalawang - Tahuna.  Dia  langsung  dibawa ke kantor VOC di  dekat tanjung tahuna.
Didalam  kantor  sudah menunggu perwakilan   dari  Gubernur Padtbrugge (kedudukan  markas  VOC tepat di kantor  kodim  sekarang). Diatas   meja  sudah  disiapkan  surat   kontrak  untuk  perjanjian berupa  “lange contract”.  Dengan  perantara  Sultan  Sibori disampaikan  pesan Gubernur.  Bataha  tetap  pada   pendirian, tidak  mau  menandatangani surat perjanjian. Dengan  alasan  itu,  maka  bataha  dijatuhi  hukuman  mati. Satu  regu  tembak  dipersiapkan. Tembakan  sudah  dilakukan. Semua  pengikut bataha  menundukkan wajah, kecuali Diamanti. Apa  yang  terjadi,  bataha masih  tetap  berdiri. Karena  kesaktiannya, tubuh  bataha   tidak  dapat  di  tembus    peluru. Tim  eksekutor  merubah  cara eksekusi, bataha  diantar  ke  tanjung  Tahuna dan  digantung  ditiang  gantungan.  Ditempat  inilah   bataha digantung   pada  seutas  tali. Pada  saat   itu  bataha  menghembuskan  nafas. Menjelang  senja,  mayat  bataha  diturunkan  dari  tiang  gantungan. Sultan  sibori  yang  tidak  yakin  akan  kematian  bataha, memerintahkan  untuk  memenggal  kepala  bataha  dari  badannya. Hal  ini sering dilakukan sebelumnya  kalau  membunuh  orang-orang yang memiliki  kesaktian,  dengan maksud untuk  memastikan  bahwa  orang  yang dibunuh, benar-benar  sudah  mati.
Menjelang subuh,  sapellah adik Santiago, seorang diri datang  mengambil  mayat  bataha. Karena tubuh bataha  sangat  besar maka sapelah  tidak  mampu  mengankat seluruhnya. Diputuskannyalah utuk membawa kepala  bataha ke istana di Bowongtiwo. Ketika  berada  di paghulu, hari mulai  terang. Agar   tidak  diketahui   oleh  pihak  VOC dan  kakitangannya,maka  sapela membelokan  haluan  perahunya ke salah  satu  pantai  dan  menguburkan  kepala  bataha di antara akar  pepohonan  besar. Nama tempat  tersebut  kemudian  dikenal  dengan  nama  “Nento”.
Bertahun-tahun kubur  kepala  bataha selalu  dirahasiakan keberadaannya. Hanya  orang-orang dekat  kerajaan yang tahu dimana  kubur  kepala  bataha. Sampai  suatu  hari  tersibaklah  rahasia itu  dari  mulut  bapak Lepinus  Musa sang  penjaga  makam. Diakhir  tahun 1950 letak  pasti kubur yang sebelumnya simpang siur akhirnya  ditemukan.   Sejak  saat  itu  lengkaplah  kenangan  tentang  Bataha  Santiago. Sedangkan  kubur  badan  bataha tidak  pernah  ditemukan. Inisiatif  pencarian  kubur  kepala Santiago dilakukan oleh Christoporus Maneking, bapak  Tiwa  camat  manganitu (keturunan Santiago  dari  isteri  pertama)  dan  beberapa  orang  keturunan  Santiago lainnya.

Makam  dari  Sapela (adik  perempuan  Santiago)   pemimpin  pasukan  perang  di  lereng gunung. Menikah  dengan Makahekung

Kehebatan dan kemahsyuran Santiago dalam berperang melawan penjajah, membuat nama Santiago diabadikan sebagai nama Komando Resort Militer Di Sulawesi Utara dengan nama Korem 131 Santiago.

Sumber : sangihepirua

Tidak ada komentar: