Minggu, 20 September 2015

Pengalamanku tentang Orang Tua Tanpa Alas Kaki

BERALIHNYA rezim Orde Baru ke Era Reformasi, tepat di bulan Mei tahun 1998 silam, saya sedang berada di satu tempat. Tempat yang di masa itu terbilang sangat jauh dari hiruk pikuk perkotaan yang identik dengan keramaian, juga penuh kesesakan.

Tempat di mana saya berada itu, pun sangat jauh dari informasi. Jangankan bisa menyaksikan infotaiment atau berita, yang punya parabola hanya satu dua keluarga. Koran hampir tidak pernah terlihat. 

Seperti itulah gambaran singkat yang bia digambarkan. Saya tiba di desa itu bulan Februari untuk melaksanakan KKN/Pastoral.

Terlepas dari banyaknya kekurangan, yang tidak akan pernah saya lupakan adalah semangat dua orang tua. Keduanya adalah suami istri.

Setiap hari minggu atau hari di mana ada jadwal ibadah, kecuali sedang berhalangan, kedua suami istri yang berusia 50-an itu, pasti hadir.

Di awal - awal saya tidak terlalu memperhatikan. Lagipula tugas saya bukan untuk itu. Tapi semakin lama, bukan memperhatikan, namun lebih pada sikap tertarik. Betapa tidak, sangat sering kedua orang tua itu hadir di tempat ibadah, tanpa memakai alas kaki, saat berjalan dari kediaman mereka. Keduanya pun biasanya akan melempar senyum begitu tiba di tempat beribadah.

Pikiranku, mungkin sayang dengan sepatu, sehingga dipakai saja saat sudah tiba di temat ibadah..

Rasa penasaran membuat saya susun jadwal melakukan kunjungan keluarga, dan tentu saja termasuk suami istri itu.

Dengan ditemani salah satu pemuda, saya mulai mengunjungi rumah demi rumah. Selain melakukan pendataan, sedikit berbincang - bincang sambil melepas lelah.

Begitu akan menuju rumah suami istri itu, berdua kami berjalan lagi. Derap langkah kaki kami terus naik menanjak ke arah perbukitan dengan kondisi jalan setapak yang masih tanah, sesekali ada bagian yang dilapisi bebatuan kecil. Sekitar 20 menit, saya minta istirahat sembari bertanya, apa masih jauh. Si pemuda dengan senyum menjawab sudah dekat.

Perjalanan dilanjutkan. Tapi hingga 20 menit kemudian, rumah yang dituju belum juga terlihat, sementara jalannya masih tetap menanjak.

Dibalut rasa penasaran, meski rasa capek sudah stadium empat, kami terus berjalan. Dan, syukurlah, kami berdua akhirnya bisa tiba juga di rumah kedua orang tua itu. Dengan nafas ngos - ngosan, si pemuda mengetuk pintu. Saya sendiri lagsung duduk di depan rumah karena kelelahan, apalagi air mineral yang dibawa sudah ludes dalam perjalanan.

Capek, haus dan mulai lapar yang mulai bergabung dalam sekejap menjadi lebih menyatu saat mengetahui kondisi rumah sedang kosong alias tidak ada penghuninya.

Dalam hati saya sedikit kesal. Ke mana kedua orang tua tanpa alas kaki itu? Sudah berjalan jauh - jauh malah orangnya tidak ada. Hari pun mulai sore jelang malam. Tapi mau berkata apa. Sekitar 10 menit istirahat, saya mengajak si pemuda untuk pulang.

Dengan posisi jalan yang menurun, perjalanan lebih cepat. Karena ingin buru - buru, mengingat malam mulai menyapa, padahal kondisi jalan yang lumayan ada tantangannya, kami berdua jalan cepat. Dan, hanya sempat bersuara "ehh...ehhhh.." saya pun berhasil jungkir balik.

Alhasil, celana dan kaos penuh becek. Oh ia, jalanan memang agak basah, ditambah tanahnya jenis tanah lilin.

Dengan sangat kesal saya berdiri melanjutkan perjalanan. Si pemuda tampak biasa saja. Mungkin dalam hati sudah tertawa, tapi malu ketahuan. 

Kami tiba di tempat saya menginap sekitar pukul 18.30 Wita. Tanpa basa basi saya langsung menuju kamar mandi.

"Ke mana kedua orang tua itu,"? terus tergiang di telinga. Ahh...habis mandi pemilik rumah menyuguhkan segelas kopi hangat.

Sambil menikmati kopi, saya mereview perjalanan yang melelahkan barusan. Kenapa kedua orang tua itu selalu berjalan tanpa alas kaki, saya mulai mengerti. Hmm... ternyata kalau dipikir - pikir memang masuk akal juga apabila sepatu ditanggalkan saaat berjalan, karena memang jalannnya tidak mulus, apalagi kalau hujan, dan memang jarak rumah mereka dengan pusat perkampungan sangat jauh.

Tapi yang membuat hati ini tertegun, kehebatan kedua orang tua. Meski jauh dan tanpa alas kaki, tetap mencari TUHAN. 

Sudah berjalan sangat jauh disertai resiko terjatuh karena jalanan licin, kedua orang tua itu selali tersenyum. Luar biasa! Tida terlihat raut wajah yang lelah apalagi mengeluh.

Lama kelamaan, dari yang sebelumnya masih merasakan lelahnya perjalanan, saya pun mulai tersenyum.Saya yang datang dari daerah yang biasa dengan keramaian, justru memperoleh pembelajaran tentang bagaimana manusia harus memposisikan diri dalam upaya mencari Sang Khalik.

Sungguh sebuah pengalaman pembelajaran akan hakekat hidup manusia. Tanpa alas kaki, itulah kesederhanaan. Selalu tersenyum, itulah gambaran keikhlasan. Berjalan jauh dengan kondisi jalan yang licin dan menanjak, bukankah itulah perziarahan manusia di dunia ini? Itulah yang coba diingatkan oleh kedua orang tua tanpa alas kaki, kepada kita semua.

Keduanya tidak mengeluh meski harus menempuh perjalanan yang jauh. Keduanya pun berjalan bersama - sama. Sungguh indah dan menakjubkan! Itulah salah satu pengalaman nyata yang bisa alami saat ber- KKN di Kampung Karatung Dua(Bahoi) Kecamatan Manganitu. Dan saya sangat berterima kasih atas semua pengalaman, secara khusus yang diberikan orang tua tanpa alas kaki.(*)

Tidak ada komentar: