Minggu, 30 Juni 2013

Benarkah Demokrasi ?


DPR dan DPRD yang dianggap perwujudan demokrasi malah merupakan sarang koruptor. Jual beli aneka RUU, utak atik anggaran, pemekaran daerah, pemilihan kepala daerah, proyek pembangunan, pemilihan pejabat, dan sebagainya ditenggarai menjadi lahan basah korupsi para anggota dewan.
Gaji dan tunjangan yang “tak seberapa” membuat para penguasa atau wakil rakyat mencari cara cepat mengembalikan biaya politik dalam proses pemilu tersebut, yaitu dengan cara korupsi. Inilah lingkaran setan korupsi dalam sistem demokrasi.
Dari fakta diatas seharusnya bukan hanya KPK yang layak dibubarkan tapi sistem politik dan pemerintahan demokrasi pun harus segera dibubarkan. Sebagai gantinya adalah system dan pemerintahan Islam.
Mencermati alur berpikir dari penulis dapat disimpulkan bahwa penulis adalah salah satu dari sebahagian rakyat indonesia yang sudah sangat kecewa dan prihatin dengan maraknya penyakit korupsi yang terjadi di Indonesia dewasa ini. Kekecewaan dan keprihatinan ini adalah suatu hal yang sangat wajar, karena sebagai warga Negara Indonesia  yang cinta pada negaranya, yang sebahagian besar rakyat masih hidup digaris kemiskinan, dilain pihak Negara terus berhutang kepada Negara lain dengan jumlah hutang yang terus bertambah, maka pantaslah kalau kita semua harus kecewa dan prihatin.
Akan tetapi benarkah yang menyebabkan terjadinya korupsi adalah sistim politik demokrasi ? Selama ini kita mengenal arti dari demokrasi itu adalah pemerintahan atau kedaulatan berada ditangan rakyat, diwujudkan melalui pemilihan umum legislative dimana rakyat memilih dan menentukan wakilnya  lewat pemberian suara ,dengan one man one vote, satu orang satu suara (sangat adil) sementara untuk memilih presiden sebagai kepala Negara ,dan para kepala daerah, dipilih lewat pemilihan umum presiden  ( Pilpres ) dan   pemilihan umum kepala daerah ( Pilkada ). Sistim ini sudah sesuai dengan asas “ dari rakyat , oleh rakyat , dan untuk rakyat.
Karena para anggota legislative, presiden dan kepala daerah dipilih untuk mensejahterahkan rakyat melalui fungsi dan tugasnya. Asas kedaulatan rakyat atau demokrasi adalah asas yang berasal dari Pancasila sebagai dasar Negara kita yaitu sila keempat ,Kerakyatan yang di[pimpin oleh hikmah kebijaksanaan, dalam permusyawaratan, perwakilan.
Dengan demikian demokrasi sebagai suatu sistim politik sudah sesuai dengan Pancasila baik sebagai dasar Negara maupun sebagai ‘ the way of life’ pandangan hidup dan filosofi bangsa Indonesia.
Oleh sebab itu kekecewaan dan keprihatinan kita pada korupsi tidak boleh membawa kita pada kesimpulan yang keliru bahwa demokrasi telah menyebabkan maraknya korupsi sehingga sistim demokrasi dan pemerintahan harus bubar dan diganti dengan sistim Negara islam atau Khilafah.
Apakah kita harus mengganti rumah kita atau merombak rumah kita karena banyak tikus berkeliaran didalamnya ? atau  masuk diakal kita harus mengganti agama kita hanya karena banyak teman seagama tidak menjalankan hukum agama secara benar ?
Sebenarnya kalau kita secara tenang dan jernih mencari apa penyebab dari korupsi maka akar penyebabnya jelas bukan sistim demokrasi, tapi akar pokoknya adalah kemiskinan. Kemiskinan materi dan kemiskinan moral dan kemiskinan pendidikan politik.
Sebagai perbandingan ( bukan untuk mengagungkan) di Amerika Serikat sesorang yang akan mencalonkan diri sebagai anggota Kongres ,harus memiliki minimal 2 juta dolar,artinya bahwa secara financial dia sudah mapan sehingga tidak memanfaatkan status anggota kongresnya untuk mencari uang, seperti memperdagangkan ayat ayat rancangan undang undang,.
Untuk menjadi calon presiden AS ,rakyatlah yang menyumbang biaya kampanye ,karena rakyat yang pendidikan politiknya sudah baik akan rela mengeluarkan uangnya untuk membantu calon presiden yang program program cocok dengan keinginan rakyat tersebut. Berbeda di Indonesia karena pendidikan politik belum merata ( banyak rakyat yang belum tersentuh dengan pendidikan politik, antara lain karena terlalu lama mengalami depolitisasi dijaman orde baru) ,dan tingkat ekonomi yang rendah ( miskin) maka rakyat tidak begitu peduli dengan program, kapabilitas, dan integritas calon, rakyat lebih tertarik dengan hal hal yang pragmatis, uang, sembako, dll.
Sementara di Indonesia sebagian calon baik legislative maupun eksekutif banyak yang secara financial masih sangat lemah sehingga jabatan jabatan politik yang harusnya adalah wahana untuk pengabdian kepada masyarakat, membawa masyarakat pada kesejahteraan, justru menjadi tempat untuk mengumpulkan uang atau mendapatkan kekayaan.
Faktor lain, sistim demokrasi dan era tranparansi ini mestinya didukung oleh penegakan hukum yang adil , tidak pandang bulu, yang profesional ,karena demokrasi dan hukum harus seperti dua sisi dari satu mata uang, ternyata juga masih jauh dari harapan, karena Negara yang tergolong miskin ini juga belum mampu memberi kesejahteraan kepada para penegak hukum. Akibatnya banyak yang masih tergoda untuk menjual belikan pasal pasal keadilan, banyak yang masih bisa ditunggangi oleh pihak pihak yang berduit.
Tetapi kita juga tidak menutup mata masih banyak orang yang memiliki moral yang kuat, para anggota Dewan yang mampu menahan diri, para Kepala daerah yang betul betul mengabdi, para hakim, jaksa, polisi, pengacara yang tawakal, hidup dalam kesederhanaan dan kejujuran.
Dengan segala hormat pada pendapat Novia Asri Putriyanti, saya ingin menyampaikan bahwa tidaklah tepat menyalahkan sistim demokrasi sebagai akar dari masalah korupsi di Indonesia karena masalah korupsi adalah masalah yang sangat kompleks yang disebabkan oleh berbagai faktor.
Demokrasi adalah sistim yang paling beradab karena tidak ada asas yang lebih tinggi “dari rakyat ,oleh rakyat, dan untuk rakyat”, Ingat “ Vox populi Vox Dei “ Suara rakyat suara Tuhan, Yang dimaksud tentunya adah suara hati nurani rakyat, yang pasti tidak sama dengan suara rakyat dari para politisi yang sudah sarat dengan berbagai kepentingan.

FRESH

Tidak ada komentar: